Bahan Pemikiran
BAB II
PEMBAHASAN
II.I Bahan Pemikiran
Bahan
pemikiran atau apa yang dikatakan dalam pemikiran (proposisi dalam
term-termnya) dapat mutlak atau mungki benar atau palsu. Oleh karena itu, pemikiran
dinyatakan dalam pembuktian, sehingga terdapat tiga macam (pasal) pembuktian
yakni:
Pasal
1. Pembuktian Apodiktis
Pembuktian apodiktif atau demonstratif
ialah pembuktian yang mana diperoleh kesimpulan yang pasti dan mutlak karena
premis-premisnyapasti dan mutlak. Oleh karena itu ilmu merupakan pengetahuan
yang pasti dan mutlak, maka
demonstrasi melahirkan ilmu; sehingga Aristoteles menyebut pembuktian itu
“sillogismus faciens scire” atau sillogisme yang menambahkan pengetahuan.
Demonstrasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Tentang
pembuktian langsung
Pembuktian langsung ialah pembuktian dalam makna kesimpulan secara
positif dibuktikan dari prinsip-prinsip; misalnya jika harus dibuktikan bahwa
“jiwa manusia tidak dapat mati”. Dimulai dengan prinsip: “apa yang rohani”
tidak dapat (premis mayor); kemudian menunjukkan dalam premis minor bahwa
manusia termasuk barang-barang rohani, dalam kesimpulan dijelaskanbahwa
predikat sesuai dengan subyek, sehingga diperoleh:
Apa yang rohani tidak dapat mati
Jiwa manusia rohani
Jiwa manusia tidak dapat mati
Pembuktian langsung ada dua macam: pembuktian “propter quit” atau “mengapa”
dan pembuktian “quia” atau “bahwa”.
1) Pembuktian
“mengapa” ialah pembuktian, yang mana kesimpulan dibuktikan dalam
prinsip-prinsip essensiil, sehingga term tengahnya inti barang itu atau cirri
khas (proprium) dari barang itu.
Misalnya pembuktian kekekalan Tuhan dari kenyataan, bahwa Tuhan tidak
dapat merubah; pembuktian kemerdekaan manusia, karena manusia makhluk
intelektual; pembuktian bahwa manusia bersifat social, karena manusia berakal
budi.
2) Pembuktian
“bahwa” ialah pembuktian, yang mana kesimpulan dibuktikan dari sebab-sebab yang
bukan dekat atau dari pekerjaan-pekerjaan, (akibat-akibat, efek-efek). Misalnya
pembuktian kekekalan Tuhandari kesempurnaan_Nya; pembuktian bahwa jiwa bersifat
rohani dari pekerjaan-pekerjaan_Nya atau karya-karya_Nya.
Penulis-penulis modern menambahkan dua macam pembuktian yang lain ialah
pembuktian
“a priori” dan pembuktian “a posteriori”:
1) Pembuktian
“a priori” (dari apa yang lebih dahulu dari barang-barang) ialah pembuktian
dari sebab-sebab ke akibat-akibat atau kodrat (essensi) ke sifat-sifat (sebat
adalah yang lebih dahulu daripada akibat; kodrat adalah yang lebih dahulu
daripada sifat-sifat).
Pembuktian “mengapa” selalu merupakan pembuktian “a priori”, karena
pembuktian ini maju dari sebab ke akibat-akibat atau dari kodrat ke
sifat-sifat.
2) Pembuktian
“a posteriori” (=dari apa yang lebih kemudian dalam barang-barang) ialah
pembuktian, yang maju dari akibat-akibat ke sebab atau dari kodrat ke
sifat-sifat (essensi).
Contoh-contoh pembuktian a priori:
dari kenyataan, bahwa Tuhan tidak dapat berubah ke kenyataan, bahwa
Tuhan kekal; dari kerohanian jiwa manusia ke kenyataan, bahwa jiwanya tidak
dapat mati; dari kenyataan bahwa manusia berakal budi ke kenyataan, bahwa
manusia bersifat social, dan lain-lain.
Contoh-contoh pembuktian a posteriori:
dari dunia (akibat) kepada Tuhan, dari pekerjaan-pekerjaan dan
sifat-sifat badan ke kodratnya; dari pekerjaan-pekerjaan jiwa ke kodaratnya.
Pembuktian “bahwa” mungkin a priori (kalau dari sebab ke akibat) atau a
posteriori (kalau dari akibat ke sebab).
Pembuktian “mengapa” menghasilkan pengetahuan sempurna dank arena itu
bersifat lebih luhur daripada pembuktian “bahwa”. Pembuktian “mengapa” menjawab
pertanyaan: apa inti barang itu?”, sedangkan pembuktiian “bahwa” menjawab
pertanyaan: apakah barang itu”ada”.
Karena kemampuan manusia terbatas, ia tidak selalu dapat memperoleh
pembuktian “mengapa”, sehingga lebih senang dengan
pembuktian-pembuktian “bahwa”, yang tidak menghilangkan misteri (rahasia) dan
ia harus memohon bantuan wahyu illahi.
Kalau pembuktian a posteriori digabungkan dengan pembuktian a priori,
maka kita mendapat pembuktian regressif atau pembuktian yang berkeliling:
Akibat
Sebab
Demikian, kalau dari dunia kita naik kepada Tuhan (perkembangan a
posteriori) dan kemudain dari Tuhan kita turun ke dunia, untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih baik tentang dunia (a priori).
2. Tentang
pembuktian yang tidak langsung
Pembuktian yang tidak langsung ialah pembuktian yang membuktikan suatu
kesimpulan, bukan dari prinsip-prinsip, melainkan dari kesalahan (kepalsuan)
atau kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal dari yang kontradiktoris. Oleh
karena itu pembuktian yang tidak langsung membela kebenaran dari kesalahan,
sedangkan pembuktian langsung menunjukkan kebenaran itu sendiri. Ada 6 bentuk
pembuktian tidak langsung yaitu:
1) Pembuktian
ex absurdis (= dari apa yang tidak masuk akal) ialah pembuktian yang tidak
langsung, yang mana suatu kesimpulan dibuktikan dari kesimpulan-kesimpulan yang
tidak masuk akal yang kontradiktoris berlawanan dengannya. Misalnya: pembuktian
adanya Tuhan’ dengan menyatakan bahwa seandainya Tuhan tidak ada, orang tidak
usah lagi memperhatikan hukum moral.
2) Pembuktian
ad hominem (untuk manusia tertentu) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang
mana suatu kesimpulan dibuktikan dari ajaran yang diterima lawan. Misalnya:
melawan orang-orang islam yang tidak menerima bahwa Kristus itu Tuhan, dapat
diajukan pembuktian dari mukjizat-mukjizat yang di akui dalam Al_Qur’an.
Pembuktian ini disebut “ad hominem”, karena hanya berlaku untuk beberapa
orang saja karena ajaran mereka, akan tettapi tidak berlaku untuk semua (= ad
omnes) orang.
3) Pembuktian
negative ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana dibuktikan suatu
kesimpulan dari kenyataan, bahwa kesimpulan kontradiktoris tidak beralasan.
Misalnya: pembuktian Kristus dalam Sakramen Maha Kudus bukan tidak mungkin
karena alas an-alasan yang mekawan itu tidak mempunyai nilai apa-apa.
4) Inversio
(inversi) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana dibuktikan suatu
kesimpulan dengan mempergunakan term tengah yang sama yang dipakai lawan.
Misalnya:
Anjing-anjing tidak layak makan roti tuan-tuannya.
Kalian adalah anjing-anjing.
Jadi kalian tidak layak makan roti tuan-tuan itu (mengalami
mukjizat-mukjizat).
Term tengah: anjing
Anjing-anjing
makan sisa-sisa dari meja
Kami
adalah anjing-anjing
Jadi
kami dapat makan sisa-sisa itu (mengalami salah satu mukjizat)
5) Instantia
(pendesakan) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana terhadap
kesimpulan lawan diajukan salah satu peristiwa partikulir atau salah satu
kesukaran. Misalnya: “manusia selalu dan dimana-mana bahagia dalam dunia ini”,
disebut salah satu contoh yang mana jelas manusia tidak berbahagia.
6) Retorsi
(pemutaran kembali) ialah pembuktian, yang mana dari kesimpulan lawan diperoleh
kesimpulan yang berlawanan atau kalau diperoleh pembuktian palsu dengan
mempergunakan bentuk pembuktian yang dipakai lawan. Retorsi dipakai untuk
menyelesaikan dilemma. Akan tetapi, kita harus ingat: “memutar kembali bukan
menjawab”; jadi lebih tepat mempergunakan pembuktian lain terhadap lawan-lawan
itu.
Pasal
2. Pembuktian yang
dialektis (yang mungkin benar)
Ada
tiga macam jenis pembuktian yang dialektis (yang mungkin benar) yaitu:
1. Tentang
pembuktian yang mungkin benar
Pembuktian
yang mungkin benar (probable) ialah pembuktian, yang mana dari premis-premis
yang mungkin benar, ditarik kesimpulan yang mungkin benar.
Mengenai bentuknya pembuktian ini tidak berdbeda dengan pembuktian
apodiktis, tetapi ada perbedaan karena dalam pembuktian apodiktis ada
kepastian, dalam pembentukan probabel ada sangkaan, dugaan (opinion).
Suatu proposisi (kesimpulan) dapat mungkin benar karena alasan-alasan
yang intrinsic atau yang ekstrinsik.
· Kalau
alasan-alasan intrinsik, maka kita
mendapat hipotese (pengandaian) analogi, ststistik.
· Kalau
alas an ekstrinsik, maka kita mendapat suatu kesaksian; kesaksian tidak
memberikan kepastian.
arti kesaksian jelas; hipotesis adalah proposisi yang belum dibuktikan
sepenuhnya dan hendak menjelaskan gejala-gejala.
Arti kesaksian dibicarakan dalam Historiologi; hipotese dalam
gnoseologi.
2. Tentang
analogi
Analogi ialah pembuktian; yang mana diambil suatu kesimpulan tentang
suatu subyek, yang terjadi dalam hal-hal yang sama. Misalnya: penyakit wabah,
penyakit batuk kering menular karena mikrobe-mikrobe.
Analogi didasarkan pada persamaan (keserupaan); pada analogi ternasuk
juga contoh,yang biasanyadiberikan untuk meyakinkan orang lain, terutama dalam
hal-hal praktis. Misalnya: orang ini dan orang itu telah menjadi orang kudus
krena kerendahan hati. Jadi engkau juga dapat jadi orang kudus karena
kerendahan hati.
Analogi merupakan induksi yang tidak lengkap dan yang tidak mencukupi
dan seringkali mnyesatkan, karena persamaan itu dilebih-lebihkan.
Analogi sering digunakan dalam ilmu-ilmu, terutama dalam ilmu fisika dan ilmu kedokteran, tidak jarang juga
dalam ilmu Ketuhanan dan dalam ilmu hukum.
Ada tiga bentuk analogi yakni:
1) Analogi
a pari (analogi persamaan) membawa pada suatu kesimpulan karena hal yang sama.
Misalnya: orang-orang Jakarta mempunyai hak-hak ini, a pari orang-orang Bandung
juga memiliki hak-hak yang sama.
Pembuktian a pari berlaku, kalau terdapat persamaan yang benar pada
subyek-subyek. Misalnya: kalau tidak, persamaan harus ditolak dengan
menyatakan: “saya menolak persamaan”,misalnya imam ini atau itu jahat, jadi
semua imam jahat; dijawab: saya menolak konsekwensi, karena kebaikan atau
kejahatan tergantung dari orang masing-masing.
2) Analogi
a fortiori membawa pada suatu kesimpulan karena hal yang lebih kuat. Misalnya:
seorang imam mempunyai hak ini, ialah fortiori seorang uskup.
Supaya pembuktian a fortiori sah, maka harus diperhatikan apakah
keadaan-keadaan itu sama, sebab kalau keadaan-keadaan itu lain, maka mungkin
pembuktian a fortiori tidak sah.
3) Analogi
a contrario (dari yang bertentangan) membawa pada kesimpulan tertentu dari hal
yang bertentangan. Misalnya: minum banyak anggur merugikan; jadi tidak minum
sama sekali membantu kesehatan. Seperti jelas, pembuktian a contrario ini tidak
kuat, kebenaran mungkin terletak ditengah-tengah.
3. Tentang
statistic
Statiktik dapat diartikan sebagai metode dan sebagai kerjaan:
1) Sebagai
metode, statistic ialah metode untuk mencatat dan menggolongkan
peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala, sehingga terdapat suatu keputusan.
2) Sebagai
pekerjaan, stastik aialah pencatatan sendiri atau golongan peristiwa-peristiwa
itu.
Untuk statistic yang baik perlu dicatat kwantitet, kwalitet dan
keadaan-keadaan dari peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala itu. Kalau mengenai
gejala-gejala alami, yang mana tidak terdapat kebebasan (determinismea), dapat
ditarik kesimpulan yang pasti; dalam gejala-gejala yang bebas (=dalam
perbuatan-perbuatan manusia yang berkehendak bebas) tidak dapat diperoleh yang
samakarena kebebasan itu.
Statistic sangant berguna dalam ilmu-ilmu fisika, untuk mengadakan suatu
hipotese.
Contoh-contoh statistic dapat diperoleh tentang perdagangan, kesehatan,
kejahatan-kejahatan, kebiasaan orang-orang; akan tetapi darii pengumpulan
gejala-gejala tidakdapat disimpulkan, bahwa pekerjaan-pekerjaan manusia mutlak.
Pasal
3. Pembuktian sofistis
1. Tentang
pengertian pembuktian sofistik
2. Tentang
pembagian pembuktian-pembuktian sofistik
1. Pengertian
pembuktian sofistis
Pembuktian sofistis atau sofisma menunjukkan pengertian yang penuh
dengan “kebijaksanaan”, yang dipakai filsuf-filsuf sofis dalam
perdebatan-perdebatan mereka (sofia=kebijaksanaan; sofistis=bijaksana); sebab
filsuf-filsuf sofis dari abad ke-5 sebelum masehi mengangkat dirinya menjadi
orang-orang bijaksana dan mengajarkan ajaran-ajarannya terutama kepada
orang-orang muda.
Akan tetapi kebijaksanaan mereka tidak benar; hanya rupa-rupanya benar
dan mereka mengadakan banyak kesalahan; terutama Protagoras dan Gorgias yang
unggulantara mereka.
Sokrates sangat melawan mereka dan setelah Sokrates juga Plato dan
Aristoteles.
Sofisme ialah pembuktian yang bercacat yang menyajikan yang palsu
dibawah kedok kebenaran. Sofisme itu juga disebut paralogisme atau pembuktian
yang salah.
2. Pembagian
sofisma-sofisma atau pembuktian-pembuktian sofistik
Kesalahan dapat terjadi dalam kata-kata atau dalam hal-hal yang
disampaikan, karena itu:
1) Tentang
kesalahan-kesalahan dalam kata-kata
2) Tentang
kesalahan-kesalahan dalam hal-hal yang disampaikan.
1) Tentang
kesalahan-kesalahan dalam kata-kata
Kesalahan-kesalahan dalam kata-kata
ialah kesalahn-kesalahan, yang mana suatu term atau proposisi, yang mempunyai
beberapa arti dipakai dalam satu arti saja.
Ada kesalahan ekwivokasi, amfibologi, komposisi, dan pembagian:
a. Kesalahan
ekwipokasi terdapat, kalau dalam pembuktian dipakai term ekwivokal. Misalnya:
Anjing menyalak
Sejumlah bintang ialah anjing
Sejumlah bintang menyalak
b. Kesalahan
amfibologi terdapat, kalau seluruh proposisidapat mempunyai beberapa arti;
sangat terkenal sabda dewata kepada Pyrrhus: “Aio te, Acacida, Romanos vincere
posse”; ada dua arti: orang-orang Romawi dan Pyrrhus dapat menjadi pemenang.
c. Kesalahan
komposisi terdapat, kalu hal-hal benar kalau terpisah, diartikan satu. Misalnya
sabda Kristus: “orang-orang buta akan melihat, orang-orang lumpuh akan
berjalan, orang-orang kusta akan dibersihkan, orang-orang tuli akan mendengar”, itu
benar dalam arti terpisah, sehingga yang dulu buta sekarang melihat, dan
seterusnya; bukan dalam arti satu, sehingga orang-orang buta tetap buta dan
akan melihat sekaligus, dan seterusnya.
d. Kealahan
pembagian terdapat, kalau hal-hal yang benar kalau bersatu, diartikan terpisah.
Misalnya sabda Kristus: “Kabarkanlah injil kepada segala makhluk”, itu benar,
kalau semua rasul sepanjang masa harus mengabarkan injil, dan bukan hanya 12
rasul yang dipilih Kristus pada waktu itu.
2) Tentang
kesalahan-kesalahan dalam hal-hal yang disampaikan
Kesalahan-kesalahan dalam hal-hal yang disampaikan ialah
kesalahan-kasalahan, yang mana terdapat kekeliruan bukan dengan kata-kata,
melainkan dalam pengertian hal-hal itu sendiri. Kesalahan-kesalahan itu dapat
diketemukan dalam premis-premis atau dalam pemikiran-pemikiran sendiri.
a. Kesalahan-kesalahan
dalam premis-premis adalah pengandaian-pengandaian yang palsu, yang mana
ditarik suatu kesimpulan. Misalnya: ajaran positivistis mengajarkan, bahwa
hanya dikenal apa yang dapat dijangkau dengan pancaindera; dari pengandaian
ditarik kesimpulan oleh beberapa filsuf, bahwa Tuhan tidak ada; ajaran
avolusionisme, mengajarkan bahwa binatang-binatangyang lebih luhur berasal dari
pada binatang-binatang yang lebih rendah; dari pengandaian itu beberapa filsuf
mengambil kesimpulan, bahwa manusia berasal dari kera.
Pengandaian-pengandaian ini sangat merintangi perkembangan ilmu; jadi
dala filsafat dan dalam ilmu-ilmu lain harus dibuang keputusan-keputusan macam
itu.
b. Kesalahan-kesalahan
dalam pemikiran dapat terjadi dalam induksi dan dalam deduksi
A. Kesalahan-kesalahan
dalam induksi adalah: kesalahan analogi, kesalahan aksidens, kesalahan “a dicto
secundum quid ad dictum simpliciter”; kesalahan “non causa pro causa”:
b.1. Kesalahan-kesalahan
analigi terdapat, kalau dalam analogi a pari persamaan dilebih-lebihkan;
demikian dalam pemikiran. Misalnya: beberapa imam jahat, jadi semua imam jahat.
Dilebih-lebihkan prinsip “ab uno omnes”. Seringkali filsuf-filsuf modern dan
terutama ahli-ahli pidato politik bicara demikian.
b.2. Kesalahan-kesalahan
aksidens terdapat, kalau sesuatu dianggap essensil, yang sesungguhnya
aksidentil; demikian kadang-kadang logika dapat membingungkan, jadi logika
tidal betul; demokrasi kadang-kadang menyebabkan perselisihan-perselisihan
antara warganegaranya, jadi demokrasi itu jahat; kadang-kadang akal budi
manusia keliru; jadi tidak mampu untuk memperoleh kebenaran.
b.3. Kesalahan “a dicto secundum quid ad
dictum simpliciter” terdapat, kalau disampaikan sesuatu secara absolute, yang
hanya sesuai secara relative. Misalnya: boleh makan daging pda hari minggu,
jadi boleh pada tiap-tiap hari; dalam waktu perang boleh membunuh musuh, jadi
juga dalam waktu damai.
b.4. Kesalahan
“non causa pro causa” terdapat, kalau dianggap sebabyang bukan sebab. Misalnya:
beberapa orang Kristen jahat, jadi agama Kristen itu jahat; sesudah pemisahan
dengan gereja katolik, orang-orang Anglikan jadi berkuasa, jadi orang-orang
yang menjasi berkuasa karena pemisahan. Sesudah reformasi Protestan umat
Katolik Italiadan Spanyol menjadi lebih lemah dalam politik, jadi agama Katolik
itu sumber kelemahan politik. Tidak benar: “post hoc, ergo propter hoc”
(=sesudah ini, jadi karena ini).
B. Kesalahan-kesalahan
dalam deduksi ada 5, ialah: kesalahan “de genere ad genus”, kesalahan
“ignoratio elenchi”, kesalahan “consequens”, kesalahan “petitie principia”, dan
kesalahan”circulus vitiosus”.
- Kesalahan
“de genere ad genus” (=dari bidang ini ke bidang itu) terdapat, kalau dari
premis-premis yang benar dalam bidang tertentu, ditarik kesimpulan dalam bidang
yang lain. Misalnya: tidak ada kekuasaan manusia untuk mengubah hokum-hukum
kodarat, jadi mukjizat tidak mungkin; mata kita tidak melihat Tuhan, jadi Tuhan
tidak ada.
- Kesalahan
“ignoratio elenchi” (=tidak tahu inti) terdapat kalau suatu pembuktian
membuktikan terlalu banyak atau tidak cukup atau sesuatu yang daripada yang
harus dibuktikan. Misalnya: Bapa Paus dapat berdosa seperti tiap-tiap orang,
jadi beliau dapat salah mengajar; hanya untuk Tuhan patut diadakan kebaktian,
jadi penghormatan kepada Bunda Maria merupakan penghojatan; yang satu tidak
mungkin tiga, jadi Allah Tritunggal tidak mungkin.
Pembuktian ini disebut “ignoratio elenchi”, karena orang yang melawan
atau membela suatu ajaran, tidak tahu nilai atau arti dari ajaran itu.
- Kesalahan
“konsekwens” terdapat, kalau dalam silogisme-silogisme bersyarat tidak
diperhatikan dengan baik hokum-hukumnya.
- Kesalahan
“petitio principii” terdapat kalau seseorang menyangka bahwa ia membuktikan apa
yang diandaikannya. Misalnya: dunia ini kekal, jadi tidak diciptakan (tetapi
justru itu harus dibuktikan bahwa dunia ini kekal). Diandaikan sebagai pokok,
apa yang harus dibuktikan.
- Kesalahan
“circulus vitiosus” (=lingkaran setan) terdapat, kalau A dibuktikan dengan B,
dan B dengan A. Misalnya: kebijaksanaan Tuhandibuktikan dari aturan dalam dunia
ini, dan aturan dalam dunia ini dibuktikan dari kebijaksanaan Tuhan.
Tentang
Mencari Term Tengah
I. Term
tengah, seperti yang kita ketahui, ialah term yang berguna untuk membandingkan
subyek dan predikat dari suatu proposisi, sehingga dapat dihasilkan suatu
kesimpulan. Jadi term tengah memberikan alas an untuk menyetujui predikatdengan
subyek atau tidak menyetujui.
Demikian untuk proposisi: “jiwa manusia tidak dapat mati” ditanyakan
mengapa predikat “tidak dapat mati” sesuai dengan subyek “jiwa manusia”.
Karena itu kita dapat berkata: term tengah merupakan alas an mengapa
predikat sesuai (atau tidak sesuai) dengan subyek. Jadi mencari term tengah
adalah sama dengan mencari alas an mengapa presikat sesuai (atau tidak sesuai)
dengan subyek.
II. Untuk menyusun
pemikiran dengan perantaraan term tengah, maka kita harus memperhatikan
kwalitet dari proposisi:
1. Kalau
proposisi affirmatif, maka term tengah harus sesuai dengan predikat dan subyek.
2. Kalau
proposisi negatif, maka term tengah harus sesuai atau hanya dengan subyek atau
hanya dengan predikat.
III. Sesudah diketemukan term tengah, dapat disusun pembuktian. Karena
bentuk 1 dan 2 dari silogisme kategori lebih jelas, maka sebaiknya silogisme
affirmatif disusun dalam bentuk 1 dan silogisme negatif dalam bentuk 1 atau 2.
Karena itu:
1. Dalam
silogisme affirmatif diperoleh premis mayor dengan menempatkan term tengah
bersama dengan predikat. Premis minor diperoleh dengan menempatkan subyek
bersama dengan term tengah.
Misalnya: kita ingin membuktikan bahwa jika manusia tidak dapat mati;
kita tanya: mengapa jiwa manusia tidak dapat mati.
Alasannya: karena jiwa manusia rohani, jadi term “rohani” dan term
“tidak dapat mati” merupakan premis mayor:
Yang rohani tidak dapat mati;
Term “jiwa manusia” dan term ”rohani” merupakan premis minor.
Jiwa manusia adalah rohani;
Jadi, jiwa manusia tidak dapat mati.
Seringkali dalam pemikiran-pemikiran ditempatkan premis mayor di tempat
premis minor dan sebaliknya, sehingga terdapat bentuk 1 yang tidak langsung:
Kehendak manusia bebas
Yang bebas adalah rohani
Jadi, kehendak manusia adalah rohani
Dalam
silogisme ini pencarian term tengah sama seperti tadi,
Kita
tanya: mengapa? Alasannya: karena bebas, sehingga:
A Kehendak bebas adalah rohani
Bentuk I Kehendak manusia adalah bebas
1 I Jadi kehendak manusia adalah rohani.
Contoh lain: Dunia menuntut sebab.
Mengapa? Karena bergerak. Jadi:
A Yang bergerak menuntut sebab
Bentuk I Dunia bergerak
1 I Jadi dunia menuntut sebab.
Bentuk 1 Dunia bergerak
yang tidak Yang bergerak menuntut sebab
langsung Jadi
dunia menuntut sebab.
2. Dalam
silogisme negatif ada 2 kemungkinan:
a. Dalam silogisme bentuk 1 harus dicari term tengah, yang tidak sesuai
dengan predikat proposisi. Misalnya: Tuhan bukan badan. Mengapa? Karena paling sempurna.
Jadi:
E Yang oaling sempurna bukan badan
Bentuk I Tuhan yang paling sempurna
1 O Jadi Tuhan bukan badan.
b. Dalam silogisme bentuk 2 harus dicari term tengah yang tidak sesuai atau
dengan subyek atau dengan predikat.
Misalnya: tidak ada jiwa yang berbadan. Mengapa? Karena jiwa tidak
berkeluasaan.
Jadi:
Bentuk 2 A Semua badan berkeluasaan
M tidak
sesuai de- E Tidak ada jiwa yang berkeluasaan
ngan sub-
yek E Jadi tidak ada jiwa yang berbadan.
Contoh lain: tidak ada manusia yang jadi batu.
Mengapa? Karena manusia binatang.
Jadi:
Bentuk 2 E tidak ada batu yang jadi binatang
M tidak
sesuai de- A Semua manusia binatang
ngan pre-
dikat. E Jadi tidak ada manusia yang jadi batu.
Pencarian dan penggunaan tern tengah membantu alas an untuk membuktikan
suatu proposisi, harus diperhatikan, supaya silogisme menghasilkan suatu
kesimpulan yang tepat dan benar.
0 komentar: