PENAWARAN DALAM JUAL BELI
BAB II
PEMBAHASAN
A. ETIKA PENAWARAN
Dalam kegiatan
perdagangan, ada beberapa proses yang biasa dilakukan oleh pihak yang terlibat
dalam kegiatan tersebut, seperti penawaran pada penjualan biasa. Penawaran
(pada barang yang belum mempunyai harga pasti) biasanya berkaitan dengan
penentuan harga, karena sudah merupakan suatu realitas yang tidak terbantah
seorang penjual menginginkan barang yang dijualkan dapat terjual dengan harga
yang tinggi, sementara si pembeli menginginkan dapat membeli dengan harga yang
rendah. Untuk ini, ada proses tawar menawar antara penjual dan pembeli untuk
menetapkan harga.
Islam memberikan
aturan tentang etika menawar yang tidak menyebabkan
Adanya pihak yang
dirugikan dalam hadis:
1. Arti Hadis
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan
saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah
saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang di antara kalian menawar atas tawaran
saudaranya” (HR. Bukhari)
2. Syarh Hadis
Penawaran adalah
barang atau jasa yang ditawarkan pada jumlah dan tingkat harga tertentu dan
dalam kondisi tertentu. Penawaran islam pun ada hal yang membedakannya dengan
penawaran konvensional, bahwa barang atau jasa yang ditawarkan harus transparan
dan dirinci spesifikasinya, bagaimana keadaan barang tersebut, apa kelebihan
dan kekurangan barang tersebut. Jangan sampai penawaran yang kita lakukan
merugikan pihak yang mengajukan permintaan. Adapun Rasulullah dalam melakukan
penawaran selalu merinci tentang spesifikasi barang dagangannya, sampai-sampai
harga beli nya pun disebutkan dan menawarkan dengan harga berapa barang
tersebut dibeli dan yang akan diperoleh olehnya.
Penawaran dalam
jual beli terutama yang konvensional merupakan suatu proses yang tidak dapat
dihindarkan. Hal itu disebabkan adanya dua kepentingan yang saling bertolak
belakang. Pihak penjual, tentu saja menginginkan untuk dapat menjual barangnya
dengan harga yang tinggi. Sedangkan di suatu sisi, pihak pembeli tentu saja
menginginkan dapat membeli barang dengan harga yang rendah.
Dalam hadis di
atas, ada etika yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak yang terlibat
dalam transaksi. Larangn membeli atas penjualan orang lain tau menawar atas
tawaran orang lain bukan hanya ditunjukan kepada pihak pembeli, tetapi juga
pada penjual.
Bagi penjual,
praktek yang melanggar etika penawaran tersebut dapat berbentuk menawarkan
barang dagangannya dengan harga yang lebih rendah kepada calon pembeli yang
sedang proses tawar menawar dengan penjual lain. Praktek tersebut dapat juga
berbentuk menawarkan barang yang kualitasnya lebih baik dengan harga yang sama
kepada calon pembeli yang sedang proses tawar menawar atau pada masa khiyar
dengan penjual lain.
Penawaran tersebut
tentu saja bertujuan untuk mengalihkan calon pembeli agar membeli barang dagangannya
dan meninggalkan penjual sebelumnya. Cara yang seperti ini dilarang karena
sangat tidak etis ketika ada pihak yang merebut calon pembeli dengan cara yang
tidak etis. Bagi calon pembeli, praktek menawar tawaran orang lain yang
melanggar etika penawaran dalam hadis ini dapat berbentuk:
1. Calon pembeli
kedua memberikan penawaran harga lebih tinggi dari penawar pertama yang sedang
proses tawar menawar dengan penjual atau pada jual beli yang masih dalam masa
khiyar.
2. Calon pembeli
kedua maminta kepada penjual yang sedang masa khiyar untuk membatalkan jual
beli dengan pembeli pertama dengan memberika janji akan membeli dengan harga
yang lebih tinggi.
3. Dalam
prakteknya, termasuk penawaran terhadap tawaran orang lain ketika calon pembeli
baru menyatakan kekurangan barang yang sedang ditawar oleh calon pembeli
sebelumnya. Cara seperti itu dilakukan dengan maksud agar penawar tidak jadi
membeli barang tersebut dan pembeli kedua bermaksud untuk membelinya.
Larangan dalam
hadis tersebut menunjukan bahwa dalam transaksi jual beli tidak dibenarkan
persaingan tidak sehat antara para calon pembeli. Karenanya, hal tersebut
mendapatkan perhatian yang sangat serius dari Rasulullah Saw. Pembeli hanya
dibolehkan melakukan penawaran terhadap barang yang tiadak sedang ditawar orang
lain. Meskipun pembeli sangat tertarik terhadap barang yang sedang ditawar oleh
orang lain tersebut.
Larangan dalam
hadis ini memberikan jaminan kepada pihak yang mungkin dalam posisi tidak
menguntungkan, sehingga pihak yang kuat social ekonominya tidak berlaku
semena-mena terhadap orang yang social ekonominya lemah.
Dalam hadis lain,
di ujung hadis ada kebolehan menawar barang yang tidak jadi dibeli, jika
penawar pertama telah meninggalkan lokasi transaksi tau telah memberikan izin.
Artinya, ketidakbolehan tersebut ditunjukan pada calon pembeli kedua, ketika
melakukan penawaran terhadap suatu barang yang sedang ditawar oleh calon
pembeli pertama. Bentuk penawaran yang dilarang adalah ketika calon pembeli
kedua menyarankan agar penjual membatalkan jual beli yang sedang dalam masa
khiyar, dengan janji ia akan membeli dengan harga yang lebih tinggi.
Larangan penawaran
hanya pada saat kedua calon pembeli dan penjual sedang dalam proses penawaran
atau dalam masa khiyar. Larangn ini dapat mengantisipasi terjadinya
pertengkaran atau permusuhan antara sesama pembeli.
Penawaran terhadap
tawaran orang lain juga dapat terjadi pada penjual. Misalnya, ketika penjual
sedang tawar menawar dengan calon pembeli A, kemudian pedangan lain menawarkan
kepada A tersebut barang yang sama dengan harga yang lebih murah, atau harga
yang sama untuk barang yang sama untuk barang yang lebih baik kualitasnya.
Ketidakbolehan ditunjukan bagi calon penjual jika barang yang menjadi objek
jual beli sedang dalam proses penawaran atau pada masa khiyar.
Larangan ini dapat
mengantisipasi terjadinya pertengkaran atau permusuhan antara sesame penjual.
Hal itulah yang dijaga oleh islam, sehingga transaksi yang akan terjadi tidak
menjadi sumber pertengkaran antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.
Apalagi bagi penjual, permusuhan sesame penjual akan mempengaruhi kinerja
masing-masing. Janganlah untuk memikirkan kemajuan usahanya, permusuhan
tersebut akan menimbulkan hal-hal merugikan lainnya.
Hadis yang menjadi
bahasan ini terdapat dalam rangkaian hadis yang panjang, aturan tentang etika
penawaran ini diseiringkan dengan larangan meminang pinangan orang lain, sampai
peminang pertama memutuskan untuk tidak meminang. Esensi dari larangannya sama,
yaitu agar pihak yang datang belakangan memperhatikan etika persaingan sehat.
Dengan arti pihak yang disebutkan belakangan tidak merebut dengan berbagai
dalih.
Apabila terjadi
jual beli dengan proses penawaran yang dilarang ini, maka terdapat perbedaan
pendapatan tentang hukum jual beli, yaitu:
1. Menurut Jumhur,
jual belinya sah tapi berdosa.
2. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah dalam
salah satu riwayat mereka dan Ibn Hazm menyatakan bahwa jual belinya tidak sah.
Terjadinya
perbedaan pendapat tersebut mungkin disebabkan oleh karena sah atau tidaknya
jual beli biasanya dilihat dari lengkap atau tidaknya syarat rukun jual beli.
Bagi fuqaha’ yang menyatakan bahwa jual belinya sah tapi berdosa, maka fokusnya
adalah terpenuhi syarat rukun tersebut. Akan tetapi bagi yang mengatakan hukum
jual belinya tidak sah, karena menganggap salah satu unsure dalam hadis tidak
sempurna.
3. Kandungan Hadis
Persaingan sehat
menjadi prioritas utama dalam hadis ini. Hal itu terlihat dari aturan mengenai
penawaran dalam proses jual beli. Dalam penawaran ada hal yang harus
diperhatikan oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli yaitu:
1. Calon pembeli
dilarang menawar barang yang sedang ditawar oleh seseorang, dengan penawaran
yang lebih tinggi.
2. Penjual
dilarang menawarkan barang kepada calon pembeli yang sedang menawar barang
pedagang lain, dengan memberikan penawaran yang lebih rendah atau dengan
memberikan penawaran yang sama terhadap barang yang dinyatakan memiliki
kualitas lebih baik.
3. Ada aturan yang
sangat jelas untuk melakukan persaingan yang sehat dengan tidak mengecewakan
apabila merugikan orang lain.
B. NAJSY DALAM JUAL BELI
An-Najasy dalam pengertian
etimologi yaitu menggerakkan. Yang diambil dari kata: najasytu ash-shaida
idzâ atsartuhu(aku menghalau hewan buruan apabila aku
menggerakkan/mengejutkannya).
Menurut terminologi adalah: (ketika) seseorang menambah
harga pada suatu barang, namun ia tidak membutuhkan barang tersebut dan tidak
ingin membelinya; ia hanya ingin harganya bertambah, dan akan menguntungkan
pemilik barang.
Harga merupakan
salah satu unsur jual beli yang mendapatkan perhatian dalam Islam. Untuk
menjaga agar penjual dan pembeli melakukan penawaran dengan bebas, dan agar
harga barang yang ditetapkan berdasarkan kamauan penjual dan pembeli, maka
Islam melarang semua tindakan yang menyebabkan terjadinya permainan harga.
Salah satu bentuk yang dilarang adalah al-Najsy, yang merupakan suatu tindakan
atau prilaku seseorang yang melakukan manipulasi harga.
Dalam kondisi saat
sekarang, bahkan ada orang yang berprofesi sebagai najsy, yang kemudian
mendapatkan komisi dari pemilik barang yang dapat dijual dengan harga yang
lebih tinggi. Oleh sebab itu, dapat dilihat aturan yang diberikan oleh
Rasulullah Saw. dalam hadis berikut:
1. Arti Hadis
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ.
وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya
Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang
lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara
najasy. (HR al-Bukhari)
2. Syarh Hadis
Al-Najsy menurut
bahasa adalah larinya buruan dan keluarnya buruan dari tempat untuk diberu.
Sedangkan menurut istilah najsy adalah tambahan harga dalam komoditi yang
diperjualbelikan. Pengertian lain, najsy adalah penambahan harga barang yang
sedang jual beli, bukan untuk maksud membeli, tetapi agar calon pembeli yang
sedang menawar membeli dengan tawaran tinggi tersebut. Dapat juga berarti trik
simulasi yaitu seseorang berpura-pura mwnawar barang dagangannya dengan harga
yang tinggi di hadapan calon pembeli, semata-mata ubtuk membengkitkan keinginan
para calon pembeli.
Rasulullah
melarang bai’ an-najasy. An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini
ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut: seseorang yang telah
ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut
dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan
pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat
untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli
dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya
disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.
Dalam suatu
transaksi atau pelelangan, ada penawaran atas suatu barang dengan harga
tertentu, kemudian ada seseorang nan menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak
berniat untuk membelinya. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing
pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama
dengan penjual ataupun tidak.
Dalam prakteknya
al-najsy ini dapat saja pelakunya bekerja sama dengan penjual, ada juga yang
melakukan najsy tanpa sepengetahuan penjual, atau atas dasar inisiatif najsy
itu sendiri. Misalnya, seseorang menyatakan kepada calon pembeli yang sedang
menawar bahwa ia membeli barang yang sama dengan harga yang lebih tinggi,
dengan tujuan agar pembeli membayar dengan harga yang lebih tinggi, terlepas
dari pelaku memang membeli dengan harga dimaksud atau tidak.
Banyak cara yang
dilakukan oleh penjual untuk dapat meyakinkan pembeli tentang harga barang yang
sedang dalam proses jual beli. Bahkan dalam realitas ada penjual yang bersumpah
bahwa harga tersebut harga yang sangat rendah.
Dengan al-najsy,
seorang melakukan tindakan penawaran dengan tujuan untuk meyakinkan calon
pembeli agar dapat membeli dengan harga yang lebih tinggi. Pemberian harga yang
lebih tinggi tersebut dilakukannya bukan untuk membeli, tetapi agar calon
pembeli merasa yakin bahwa ia membeli dengan harga yang standar.
Najsy juga
dilakukan dengan cara seseorang menyatakan kepada calon pembeli (yang sedang
melakukan tawar menawar dengan penjual) bahwa ia telah membeli barang yang sama
dengan harga yang lebih tinggi dari tawarannya itu dengan tujuan agar calon
pembeli membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu
Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِعْ
حَاضِرٌ لِبَادٍ
“Janganlah seseorang menjual di atas
jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi
calo untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari)
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat
jumhur. Namun jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy tetap
sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga barang –namun
tidak bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi rusaknya akad.
Menurut Imam Syafi’i, al-najsy yaitu memperlihatkan barang yang akan
diperjualbelikan kepada calon pembeli, ada seseorang yang melakukan penawaran
lebih tinggi namun bukan dengan maksud membeli tetapi untuk meninggikan harga
jual.
Menurut Imam
Maliki, najsy adalah upaya seseorang memberikan harga harga suatu barang
melebihi harga sesungguhnya, bukan maksud untuk membeli, tetapi agar orang lain
membeli dengan harga yang lebih tinggi.
Berdasarkan hadis
di atas, menurut Ibn Baththal: Ulama telah sepakat bahwa orang yang melakukan
permainan harga dengan cara najsy sama saja dengan berbuat maksiat.
Jual beli yang
terjadi akibat permainan harga yang dilakukan oleh seseorang ada beberapa
pendapat:
1. Menurut
sebagian ahli hadis jual belinya yang terjadi batal demi hukum, ini juga
pendapat ahli zhahir dan satu riwayat dari Malik.
2. Di kalangan
Hanabilah, jual belinya batal demi hukum apabila ada kerja sama antara najisy
dengan penjual atau adanya perjanjian komisi.
3. Menurut
Malikiyah jual beli yang terjadi mendapatkan hak khiyar, pembeli dapat saja
meneruskan jual beli atau membatalkannya.
4. Hanafiyah dan
Hadawiyah menyatakan jual belinya sah, tetapi pelaku najs berdosa.
5. Menurut Ibn
‘Abdil Bar, Ibn al-‘Arabi dan Ibn Hamz, perbuatan najsy itu hukumnya haram,
apabila tambahan yang disebutkan itu melebihi harga standar.
6. Menurut Ibn Abi
Aufa, orang yang mencari rezki dengan jalan menaikkan harga barang bukan untuk
membeli tetapi merugikan orang lain adalah pemakan riba yang khianat, penipu,
tidak sah dan tidak halal, dan pelakunya diancam dengan neraka.
Berdasarkan uraian
di atas terlihat bahwa upaya mempermaikan harga dengan cara najsy merupakan
suatu yang terlarang, karena hal itu akan berimplikasi negatif terhadap
pembeli. Pembeli akan dirugikan dengan praktek seperti itu. Tindakan najsy
memberikan keyakinan kepada pembeli bahwa ia membeli dengan harga yang
sebenarnya, padahal harga yang sesungguhnya tidak seperti itu. Sementara itu
sama saja dengan penipuan terselubung yang sudah direncanakan oleh pelaku.
Disamping itu,
untuk pelaku najsy perbuatannya akan menimbulkan menurunya etos kerja, karena
pelaku tidak mempunyai pekerjaan yang jelas dan sangat tergantung kepada adanya
pembeli yang dapat diperdaya oleh caranya tersebut. Orang yang tidak
berminat membeli dan tidak tertarik pada suatu barang, hendaknya tidak ikut
campur dan tidak menaikkan harga. Biarkan para pengunjung (pembeli) yang
berminat untuk saling tawar-menawar sesuai harga yang diinginkan.
3. Hukum yang Terdapat dalam Hadis
a. Haram hukumnya
praktik najasy dalam jual beli. Dalam hal ini at-Tirmidzi berkata dalam
Sunannya (III/597), “Hadis inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu, mereka
memakruhkan praktik najasy dalam jual beli.”
b. Bentuk praktik
najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang
mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi
dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan
memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya,
namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya
tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, (Sunan at-Tirmidzi [III/597-598]).
c. Orang yang melakukan
praktik najasy dianggap sebagai orang yang berdosa dan durhaka. Ibnu Baththal
telah menukil ijma’ ahli ilmu dalam masalah ini. (lihat Fathul Bâri (IV/355).
Dalilnya adalah hadis ‘Abdullah bin Abi Aufa r.a, ia berkata, “Seorang menjajakan
barang dagangannya sambil bersumpah dengan nama Allah bahwa ia menjualnya di
bawah modal yang telah ia keluarkan. Lalu turunlah ayat.
¨bÎ)…. tûïÏ%©!$# tbrçtIô±o ÏôgyèÎ «!$# öNÍkÈ]»yJ÷r&ur $YYyJrO ¸xÎ=s% …..
Artinya:‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar
janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…’ (QS
Ali Imran 77)
4. Kandungan Hadis
• Pada prinsipnya,
Islam memberikan jaminan kepada pembeli dalam penetapan harga beli. Harga harus
berdasarkan kesepakatan antara penjual dengan pembeli.
• Pihak lain
dilarang melakukan intervensi dalam memberikan dan menetapkan penentuan harga
yang lebih tinggi dari harga sesungguhnya, walaupun najisy tersebut tidak
mendapat imbalan dari upaya yang dilakukannya. Lebih lagi jika najisy
menjadikan upaya tersebut sebagai profesi atau usaha untuk mendapatkan bagian
dari kelebihan keuntungan yang diperoleh oleh penjual.
• Orang yang
melakukan najisy adalah pelaku maksiat.
• Larangan najsy
mempunyai implikasi terhadap transaksi yang dilakukan. Meskipun terdapat
perbedaan pendapat ulama tentang itu, jual belinya batal demi hukum atau ada
hak khiyar bagi pembeli untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli dimaksud.
• Najsy upaya
merusak harga dan bentuk penggelembungan harga yang sangat merugikan pihak
pembeli.
0 komentar: