Pages

Selasa, 23 April 2013

Bahan Pemikiran



BAB II
PEMBAHASAN

II.I      Bahan Pemikiran
            Bahan pemikiran atau apa yang dikatakan dalam pemikiran (proposisi dalam term-termnya) dapat mutlak atau mungki benar atau palsu. Oleh karena itu, pemikiran dinyatakan dalam pembuktian, sehingga terdapat tiga macam (pasal) pembuktian yakni:
Pasal 1. Pembuktian Apodiktis
              Pembuktian apodiktif atau demonstratif ialah pembuktian yang mana diperoleh kesimpulan yang pasti dan mutlak karena premis-premisnyapasti dan mutlak. Oleh karena itu ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan mutlak,  maka demonstrasi melahirkan ilmu; sehingga Aristoteles menyebut pembuktian itu “sillogismus faciens scire” atau sillogisme yang menambahkan pengetahuan. Demonstrasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
1.      Tentang pembuktian langsung
Pembuktian langsung ialah pembuktian dalam makna kesimpulan secara positif dibuktikan dari prinsip-prinsip; misalnya jika harus dibuktikan bahwa “jiwa manusia tidak dapat mati”. Dimulai dengan prinsip: “apa yang rohani” tidak dapat (premis mayor); kemudian menunjukkan dalam premis minor bahwa manusia termasuk barang-barang rohani, dalam kesimpulan dijelaskanbahwa predikat sesuai dengan subyek, sehingga diperoleh:

Apa yang rohani tidak dapat mati
Jiwa manusia rohani
Jiwa manusia tidak dapat mati
Pembuktian langsung ada dua macam: pembuktian “propter quit” atau “mengapa” dan pembuktian “quia” atau “bahwa”.
1)      Pembuktian “mengapa” ialah pembuktian, yang mana kesimpulan dibuktikan dalam prinsip-prinsip essensiil, sehingga term tengahnya inti barang itu atau cirri khas (proprium) dari barang itu.
Misalnya pembuktian kekekalan Tuhan dari kenyataan, bahwa Tuhan tidak dapat merubah; pembuktian kemerdekaan manusia, karena manusia makhluk intelektual; pembuktian bahwa manusia bersifat social, karena manusia berakal budi.
2)      Pembuktian “bahwa” ialah pembuktian, yang mana kesimpulan dibuktikan dari sebab-sebab yang bukan dekat atau dari pekerjaan-pekerjaan, (akibat-akibat, efek-efek). Misalnya pembuktian kekekalan Tuhandari kesempurnaan_Nya; pembuktian bahwa jiwa bersifat rohani dari pekerjaan-pekerjaan_Nya atau karya-karya_Nya.
Penulis-penulis modern menambahkan dua macam pembuktian yang lain ialah pembuktian
“a priori” dan pembuktian “a posteriori”:
1)      Pembuktian “a priori” (dari apa yang lebih dahulu dari barang-barang) ialah pembuktian dari sebab-sebab ke akibat-akibat atau kodrat (essensi) ke sifat-sifat (sebat adalah yang lebih dahulu daripada akibat; kodrat adalah yang lebih dahulu daripada sifat-sifat).
Pembuktian “mengapa” selalu merupakan pembuktian “a priori”, karena pembuktian ini maju dari sebab ke akibat-akibat atau dari kodrat ke sifat-sifat.
2)      Pembuktian “a posteriori” (=dari apa yang lebih kemudian dalam barang-barang) ialah pembuktian, yang maju dari akibat-akibat ke sebab atau dari kodrat ke sifat-sifat (essensi).



Contoh-contoh pembuktian a priori:
dari kenyataan, bahwa Tuhan tidak dapat berubah ke kenyataan, bahwa Tuhan kekal; dari kerohanian jiwa manusia ke kenyataan, bahwa jiwanya tidak dapat mati; dari kenyataan bahwa manusia berakal budi ke kenyataan, bahwa manusia bersifat social, dan lain-lain.

Contoh-contoh pembuktian a posteriori:
dari dunia (akibat) kepada Tuhan, dari pekerjaan-pekerjaan dan sifat-sifat badan ke kodratnya; dari pekerjaan-pekerjaan jiwa ke kodaratnya.

Pembuktian “bahwa” mungkin a priori (kalau dari sebab ke akibat) atau a posteriori (kalau dari akibat ke sebab).
Pembuktian “mengapa” menghasilkan pengetahuan sempurna dank arena itu bersifat lebih luhur daripada pembuktian “bahwa”. Pembuktian “mengapa” menjawab pertanyaan: apa inti barang itu?”, sedangkan pembuktiian “bahwa” menjawab pertanyaan: apakah barang itu”ada”.
Karena kemampuan manusia terbatas, ia tidak selalu dapat memperoleh pembuktian “mengapa”, sehingga lebih senang  dengan pembuktian-pembuktian “bahwa”, yang tidak menghilangkan misteri (rahasia) dan ia harus memohon bantuan wahyu illahi.
Kalau pembuktian a posteriori digabungkan dengan pembuktian a priori, maka kita mendapat pembuktian regressif atau pembuktian yang berkeliling:
                                                                                                Akibat

                                                                 Sebab

Demikian, kalau dari dunia kita naik kepada Tuhan (perkembangan a posteriori) dan kemudain dari Tuhan kita turun ke dunia, untuk memperoleh pengetahuan yang lebih baik tentang dunia (a priori).

2.      Tentang pembuktian yang tidak langsung
Pembuktian yang tidak langsung ialah pembuktian yang membuktikan suatu kesimpulan, bukan dari prinsip-prinsip, melainkan dari kesalahan (kepalsuan) atau kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal dari yang kontradiktoris. Oleh karena itu pembuktian yang tidak langsung membela kebenaran dari kesalahan, sedangkan pembuktian langsung menunjukkan kebenaran itu sendiri. Ada 6 bentuk pembuktian tidak langsung yaitu:
1)      Pembuktian ex absurdis (= dari apa yang tidak masuk akal) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana suatu kesimpulan dibuktikan dari kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal yang kontradiktoris berlawanan dengannya. Misalnya: pembuktian adanya Tuhan’ dengan menyatakan bahwa seandainya Tuhan tidak ada, orang tidak usah lagi memperhatikan hukum moral.
2)      Pembuktian ad hominem (untuk manusia tertentu) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana suatu kesimpulan dibuktikan dari ajaran yang diterima lawan. Misalnya: melawan orang-orang islam yang tidak menerima bahwa Kristus itu Tuhan, dapat diajukan pembuktian dari mukjizat-mukjizat yang di akui dalam Al_Qur’an.
Pembuktian ini disebut “ad hominem”, karena hanya berlaku untuk beberapa orang saja karena ajaran mereka, akan tettapi tidak berlaku untuk semua (= ad omnes) orang.
3)      Pembuktian negative ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana dibuktikan suatu kesimpulan dari kenyataan, bahwa kesimpulan kontradiktoris tidak beralasan. Misalnya: pembuktian Kristus dalam Sakramen Maha Kudus bukan tidak mungkin karena alas an-alasan yang mekawan itu tidak mempunyai nilai apa-apa.
4)      Inversio (inversi) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana dibuktikan suatu kesimpulan dengan mempergunakan term tengah yang sama yang dipakai lawan. Misalnya:

Anjing-anjing tidak layak makan roti tuan-tuannya.
Kalian adalah anjing-anjing.
Jadi kalian tidak layak makan roti tuan-tuan itu (mengalami mukjizat-mukjizat).
Term tengah: anjing
     Anjing-anjing makan sisa-sisa dari meja
     Kami adalah anjing-anjing
     Jadi kami dapat makan sisa-sisa itu (mengalami salah satu mukjizat)
5)      Instantia (pendesakan) ialah pembuktian yang tidak langsung, yang mana terhadap kesimpulan lawan diajukan salah satu peristiwa partikulir atau salah satu kesukaran. Misalnya: “manusia selalu dan dimana-mana bahagia dalam dunia ini”, disebut salah satu contoh yang mana jelas manusia tidak berbahagia.
6)      Retorsi (pemutaran kembali) ialah pembuktian, yang mana dari kesimpulan lawan diperoleh kesimpulan yang berlawanan atau kalau diperoleh pembuktian palsu dengan mempergunakan bentuk pembuktian yang dipakai lawan. Retorsi dipakai untuk menyelesaikan dilemma. Akan tetapi, kita harus ingat: “memutar kembali bukan menjawab”; jadi lebih tepat mempergunakan pembuktian lain terhadap lawan-lawan itu.

Pasal 2.  Pembuktian yang dialektis (yang mungkin benar)
               Ada tiga macam jenis pembuktian yang dialektis (yang mungkin benar) yaitu:



1.         Tentang pembuktian yang mungkin benar
   Pembuktian yang mungkin benar (probable) ialah pembuktian, yang mana dari premis-premis yang mungkin benar, ditarik kesimpulan yang mungkin benar.
Mengenai bentuknya pembuktian ini tidak berdbeda dengan pembuktian apodiktis, tetapi ada perbedaan karena dalam pembuktian apodiktis ada kepastian, dalam pembentukan probabel ada sangkaan, dugaan (opinion).
Suatu proposisi (kesimpulan) dapat mungkin benar karena alasan-alasan yang intrinsic atau yang ekstrinsik.
·         Kalau alasan-alasan intrinsik, maka  kita mendapat hipotese (pengandaian) analogi, ststistik.
·         Kalau alas an ekstrinsik, maka kita mendapat suatu kesaksian; kesaksian tidak memberikan kepastian.
arti kesaksian jelas; hipotesis adalah proposisi yang belum dibuktikan sepenuhnya dan hendak menjelaskan gejala-gejala.
Arti kesaksian dibicarakan dalam Historiologi; hipotese dalam gnoseologi.

2.      Tentang analogi
Analogi ialah pembuktian; yang mana diambil suatu kesimpulan tentang suatu subyek, yang terjadi dalam hal-hal yang sama. Misalnya: penyakit wabah, penyakit batuk kering menular karena mikrobe-mikrobe.
Analogi didasarkan pada persamaan (keserupaan); pada analogi ternasuk juga contoh,yang biasanyadiberikan untuk meyakinkan orang lain, terutama dalam hal-hal praktis. Misalnya: orang ini dan orang itu telah menjadi orang kudus krena kerendahan hati. Jadi engkau juga dapat jadi orang kudus karena kerendahan hati.
Analogi merupakan induksi yang tidak lengkap dan yang tidak mencukupi dan seringkali mnyesatkan, karena persamaan itu dilebih-lebihkan.
Analogi sering digunakan dalam ilmu-ilmu, terutama dalam ilmu fisika dan  ilmu kedokteran, tidak jarang juga dalam ilmu Ketuhanan dan dalam ilmu hukum.
Ada tiga bentuk analogi yakni:

1)      Analogi a pari (analogi persamaan) membawa pada suatu kesimpulan karena hal yang sama. Misalnya: orang-orang Jakarta mempunyai hak-hak ini, a pari orang-orang Bandung juga memiliki hak-hak yang sama.
Pembuktian a pari berlaku, kalau terdapat persamaan yang benar pada subyek-subyek. Misalnya: kalau tidak, persamaan harus ditolak dengan menyatakan: “saya menolak persamaan”,misalnya imam ini atau itu jahat, jadi semua imam jahat; dijawab: saya menolak konsekwensi, karena kebaikan atau kejahatan tergantung dari orang masing-masing.
2)      Analogi a fortiori membawa pada suatu kesimpulan karena hal yang lebih kuat. Misalnya: seorang imam mempunyai hak ini, ialah fortiori seorang uskup.
Supaya pembuktian a fortiori sah, maka harus diperhatikan apakah keadaan-keadaan itu sama, sebab kalau keadaan-keadaan itu lain, maka mungkin pembuktian a fortiori tidak sah.
3)      Analogi a contrario (dari yang bertentangan) membawa pada kesimpulan tertentu dari hal yang bertentangan. Misalnya: minum banyak anggur merugikan; jadi tidak minum sama sekali membantu kesehatan. Seperti jelas, pembuktian a contrario ini tidak kuat, kebenaran mungkin terletak ditengah-tengah.

3.      Tentang statistic
Statiktik dapat diartikan sebagai metode dan sebagai kerjaan:
1)      Sebagai metode, statistic ialah metode untuk mencatat dan menggolongkan peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala, sehingga terdapat suatu keputusan.
2)      Sebagai pekerjaan, stastik aialah pencatatan sendiri atau golongan peristiwa-peristiwa itu.
Untuk statistic yang baik perlu dicatat kwantitet, kwalitet dan keadaan-keadaan dari peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala itu. Kalau mengenai gejala-gejala alami, yang mana tidak terdapat kebebasan (determinismea), dapat ditarik kesimpulan yang pasti; dalam gejala-gejala yang bebas (=dalam perbuatan-perbuatan manusia yang berkehendak bebas) tidak dapat diperoleh yang samakarena kebebasan itu.
Statistic sangant berguna dalam ilmu-ilmu fisika, untuk mengadakan suatu hipotese.
Contoh-contoh statistic dapat diperoleh tentang perdagangan, kesehatan, kejahatan-kejahatan, kebiasaan orang-orang; akan tetapi darii pengumpulan gejala-gejala tidakdapat disimpulkan, bahwa pekerjaan-pekerjaan manusia mutlak.

Pasal 3. Pembuktian sofistis
1.      Tentang pengertian pembuktian sofistik
2.      Tentang pembagian pembuktian-pembuktian sofistik
1.      Pengertian pembuktian sofistis
Pembuktian sofistis atau sofisma menunjukkan pengertian yang penuh dengan “kebijaksanaan”, yang dipakai filsuf-filsuf sofis dalam perdebatan-perdebatan mereka (sofia=kebijaksanaan; sofistis=bijaksana); sebab filsuf-filsuf sofis dari abad ke-5 sebelum masehi mengangkat dirinya menjadi orang-orang bijaksana dan mengajarkan ajaran-ajarannya terutama kepada orang-orang muda.
Akan tetapi kebijaksanaan mereka tidak benar; hanya rupa-rupanya benar dan mereka mengadakan banyak kesalahan; terutama Protagoras dan Gorgias yang unggulantara mereka.
Sokrates sangat melawan mereka dan setelah Sokrates juga Plato dan Aristoteles.
Sofisme ialah pembuktian yang bercacat yang menyajikan yang palsu dibawah kedok kebenaran. Sofisme itu juga disebut paralogisme atau pembuktian yang salah.

2.      Pembagian sofisma-sofisma atau pembuktian-pembuktian sofistik  
Kesalahan dapat terjadi dalam kata-kata atau dalam hal-hal yang disampaikan, karena itu:
1)      Tentang kesalahan-kesalahan dalam kata-kata
2)      Tentang kesalahan-kesalahan dalam hal-hal yang disampaikan.

1)      Tentang kesalahan-kesalahan dalam kata-kata
Kesalahan-kesalahan dalam  kata-kata ialah kesalahn-kesalahan, yang mana suatu term atau proposisi, yang mempunyai beberapa arti dipakai dalam satu arti saja.
Ada kesalahan ekwivokasi, amfibologi, komposisi, dan pembagian:
a.       Kesalahan ekwipokasi terdapat, kalau dalam pembuktian dipakai term ekwivokal. Misalnya:
Anjing menyalak
Sejumlah bintang ialah anjing
Sejumlah bintang menyalak
b.      Kesalahan amfibologi terdapat, kalau seluruh proposisidapat mempunyai beberapa arti; sangat terkenal sabda dewata kepada Pyrrhus: “Aio te, Acacida, Romanos vincere posse”; ada dua arti: orang-orang Romawi dan Pyrrhus dapat menjadi pemenang.
c.       Kesalahan komposisi terdapat, kalu hal-hal benar kalau terpisah, diartikan satu. Misalnya sabda Kristus: “orang-orang buta akan melihat, orang-orang lumpuh akan berjalan, orang-orang kusta akan dibersihkan,  orang-orang tuli akan mendengar”, itu benar dalam arti terpisah, sehingga yang dulu buta sekarang melihat, dan seterusnya; bukan dalam arti satu, sehingga orang-orang buta tetap buta dan akan melihat sekaligus, dan seterusnya.
d.      Kealahan pembagian terdapat, kalau hal-hal yang benar kalau bersatu, diartikan terpisah. Misalnya sabda Kristus: “Kabarkanlah injil kepada  segala makhluk”, itu benar, kalau semua rasul sepanjang masa harus mengabarkan injil, dan bukan hanya 12 rasul yang dipilih Kristus pada waktu itu.

2)      Tentang kesalahan-kesalahan dalam hal-hal yang disampaikan
Kesalahan-kesalahan dalam hal-hal yang disampaikan ialah kesalahan-kasalahan, yang mana terdapat kekeliruan bukan dengan kata-kata, melainkan dalam pengertian hal-hal itu sendiri. Kesalahan-kesalahan itu dapat diketemukan dalam premis-premis atau dalam pemikiran-pemikiran sendiri.
a.       Kesalahan-kesalahan dalam premis-premis adalah pengandaian-pengandaian yang palsu, yang mana ditarik suatu kesimpulan. Misalnya: ajaran positivistis mengajarkan, bahwa hanya dikenal apa yang dapat dijangkau dengan pancaindera; dari pengandaian ditarik kesimpulan oleh beberapa filsuf, bahwa Tuhan tidak ada; ajaran avolusionisme, mengajarkan bahwa binatang-binatangyang lebih luhur berasal dari pada binatang-binatang yang lebih rendah; dari pengandaian itu beberapa filsuf mengambil kesimpulan, bahwa manusia berasal dari kera.
Pengandaian-pengandaian ini sangat merintangi perkembangan ilmu; jadi dala filsafat dan dalam ilmu-ilmu lain harus dibuang keputusan-keputusan macam itu.
b.      Kesalahan-kesalahan dalam pemikiran dapat terjadi dalam induksi dan dalam deduksi
A.    Kesalahan-kesalahan dalam induksi adalah: kesalahan analogi, kesalahan aksidens, kesalahan “a dicto secundum quid ad dictum simpliciter”; kesalahan “non causa pro causa”:
b.1.      Kesalahan-kesalahan analigi terdapat, kalau dalam analogi a pari persamaan dilebih-lebihkan; demikian dalam pemikiran. Misalnya: beberapa imam jahat, jadi semua imam jahat. Dilebih-lebihkan prinsip “ab uno omnes”. Seringkali filsuf-filsuf modern dan terutama ahli-ahli pidato politik bicara demikian.
b.2.      Kesalahan-kesalahan aksidens terdapat, kalau sesuatu dianggap essensil, yang sesungguhnya aksidentil; demikian kadang-kadang logika dapat membingungkan, jadi logika tidal betul; demokrasi kadang-kadang menyebabkan perselisihan-perselisihan antara warganegaranya, jadi demokrasi itu jahat; kadang-kadang akal budi manusia keliru; jadi tidak mampu untuk memperoleh kebenaran.
b.3.      Kesalahan “a dicto secundum quid ad dictum simpliciter” terdapat, kalau disampaikan sesuatu secara absolute, yang hanya sesuai secara relative. Misalnya: boleh makan daging pda hari minggu, jadi boleh pada tiap-tiap hari; dalam waktu perang boleh membunuh musuh, jadi juga dalam waktu damai.
b.4.      Kesalahan “non causa pro causa” terdapat, kalau dianggap sebabyang bukan sebab. Misalnya: beberapa orang Kristen jahat, jadi agama Kristen itu jahat; sesudah pemisahan dengan gereja katolik, orang-orang Anglikan jadi berkuasa, jadi orang-orang yang menjasi berkuasa karena pemisahan. Sesudah reformasi Protestan umat Katolik Italiadan Spanyol menjadi lebih lemah dalam politik, jadi agama Katolik itu sumber kelemahan politik. Tidak benar: “post hoc, ergo propter hoc” (=sesudah ini, jadi karena ini).
             
B.     Kesalahan-kesalahan dalam deduksi ada 5, ialah: kesalahan “de genere ad genus”, kesalahan “ignoratio elenchi”, kesalahan “consequens”, kesalahan “petitie principia”, dan kesalahan”circulus vitiosus”.
-          Kesalahan “de genere ad genus” (=dari bidang ini ke bidang itu) terdapat, kalau dari premis-premis yang benar dalam bidang tertentu, ditarik kesimpulan dalam bidang yang lain. Misalnya: tidak ada kekuasaan manusia untuk mengubah hokum-hukum kodarat, jadi mukjizat tidak mungkin; mata kita tidak melihat Tuhan, jadi Tuhan tidak ada.
-          Kesalahan “ignoratio elenchi” (=tidak tahu inti) terdapat kalau suatu pembuktian membuktikan terlalu banyak atau tidak cukup atau sesuatu yang daripada yang harus dibuktikan. Misalnya: Bapa Paus dapat berdosa seperti tiap-tiap orang, jadi beliau dapat salah mengajar; hanya untuk Tuhan patut diadakan kebaktian, jadi penghormatan kepada Bunda Maria merupakan penghojatan; yang satu tidak mungkin tiga, jadi Allah Tritunggal tidak mungkin.
Pembuktian ini disebut “ignoratio elenchi”, karena orang yang melawan atau membela suatu ajaran, tidak tahu nilai atau arti dari ajaran itu.
-          Kesalahan “konsekwens” terdapat, kalau dalam silogisme-silogisme bersyarat tidak diperhatikan dengan baik hokum-hukumnya.
-          Kesalahan “petitio principii” terdapat kalau seseorang menyangka bahwa ia membuktikan apa yang diandaikannya. Misalnya: dunia ini kekal, jadi tidak diciptakan (tetapi justru itu harus dibuktikan bahwa dunia ini kekal). Diandaikan sebagai pokok, apa yang harus dibuktikan.
-          Kesalahan “circulus vitiosus” (=lingkaran setan) terdapat, kalau A dibuktikan dengan B, dan B dengan A. Misalnya: kebijaksanaan Tuhandibuktikan dari aturan dalam dunia ini, dan aturan dalam dunia ini dibuktikan dari kebijaksanaan Tuhan.

Tentang Mencari Term Tengah
I.       Term tengah, seperti yang kita ketahui, ialah term yang berguna untuk membandingkan subyek dan predikat dari suatu proposisi, sehingga dapat dihasilkan suatu kesimpulan. Jadi term tengah memberikan alas an untuk menyetujui predikatdengan subyek atau tidak menyetujui.
Demikian untuk proposisi: “jiwa manusia tidak dapat mati” ditanyakan mengapa predikat “tidak dapat mati” sesuai dengan subyek “jiwa manusia”.
Karena itu kita dapat berkata: term tengah merupakan alas an mengapa predikat sesuai (atau tidak sesuai) dengan subyek. Jadi mencari term tengah adalah sama dengan mencari alas an mengapa presikat sesuai (atau tidak sesuai) dengan subyek.
II.  Untuk menyusun pemikiran dengan perantaraan term tengah, maka kita harus memperhatikan kwalitet dari proposisi:
1.      Kalau proposisi affirmatif, maka term tengah harus sesuai dengan predikat dan subyek.
2.      Kalau proposisi negatif, maka term tengah harus sesuai atau hanya dengan subyek atau hanya dengan predikat.
III. Sesudah diketemukan term tengah, dapat disusun pembuktian. Karena bentuk 1 dan 2 dari silogisme kategori lebih jelas, maka sebaiknya silogisme affirmatif disusun dalam bentuk 1 dan silogisme negatif dalam bentuk 1 atau 2. Karena itu:
1.      Dalam silogisme affirmatif diperoleh premis mayor dengan menempatkan term tengah bersama dengan predikat. Premis minor diperoleh dengan menempatkan subyek bersama dengan term tengah.
Misalnya: kita ingin membuktikan bahwa jika manusia tidak dapat mati; kita tanya: mengapa jiwa manusia tidak dapat mati.
Alasannya: karena jiwa manusia rohani, jadi term “rohani” dan term “tidak dapat mati” merupakan premis mayor:
            Yang rohani tidak dapat mati;
Term “jiwa manusia” dan term ”rohani” merupakan premis minor.
            Jiwa manusia adalah rohani;
Jadi, jiwa manusia tidak dapat mati.
Seringkali dalam pemikiran-pemikiran ditempatkan premis mayor di tempat premis minor dan sebaliknya, sehingga terdapat bentuk 1 yang tidak langsung:
            Kehendak manusia bebas
            Yang bebas adalah rohani
            Jadi, kehendak manusia adalah rohani
      Dalam silogisme ini pencarian term tengah sama seperti tadi,
     Kita tanya: mengapa? Alasannya: karena bebas, sehingga:
                              A     Kehendak bebas adalah rohani
Bentuk        I      Kehendak manusia adalah bebas
     1            I      Jadi kehendak manusia adalah rohani.
Contoh lain: Dunia menuntut sebab.
Mengapa? Karena bergerak. Jadi:
                              A       Yang bergerak menuntut sebab
Bentuk       I        Dunia bergerak
      1           I        Jadi dunia menuntut sebab.
Bentuk 1              Dunia bergerak
yang tidak           Yang bergerak menuntut sebab
langsung               Jadi dunia menuntut sebab.

2.      Dalam silogisme negatif ada 2 kemungkinan:
a.      Dalam silogisme bentuk 1 harus dicari term tengah, yang tidak sesuai dengan predikat proposisi. Misalnya: Tuhan bukan badan. Mengapa? Karena paling sempurna.
Jadi:
               Yang oaling sempurna bukan badan
Bentuk   I   Tuhan yang paling sempurna
1         O   Jadi Tuhan bukan badan.

b.    Dalam silogisme bentuk 2 harus dicari term tengah yang tidak sesuai atau dengan subyek atau dengan predikat.
Misalnya: tidak ada jiwa yang berbadan. Mengapa? Karena jiwa tidak berkeluasaan.
Jadi:



Bentuk 2              A         Semua badan berkeluasaan
M tidak
sesuai de-             E          Tidak ada jiwa yang berkeluasaan
ngan sub- 
yek                       E          Jadi tidak ada jiwa yang berbadan.


Contoh lain: tidak ada manusia yang jadi batu.
Mengapa? Karena manusia binatang.
Jadi:
Bentuk 2              E          tidak ada batu yang jadi binatang
M tidak
sesuai de-             A         Semua manusia binatang
ngan pre-
dikat.                    E          Jadi tidak ada manusia yang jadi batu.

Pencarian dan penggunaan tern tengah membantu alas an untuk membuktikan suatu proposisi, harus diperhatikan, supaya silogisme menghasilkan suatu kesimpulan yang tepat dan benar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar