Politik dalam Islam
BAB1
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian
masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik
selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai,
sejahtera lahir dan batindan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari sistem
politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnyamasalah politik ini, maka
telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian
pula ajaran islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara
menyeluruh juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan kenegaraan. Dalam hubungan ini Ibn
Khaldum berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh
Negara dari solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat
agama bias meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota
dari golongan lainnya, dan menuntut mereka kearah kebenaran.
BAB II
ISI
A. PENGERTIAN
POLITIK
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta,
politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan,
seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya, dan
dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan
sebagainya mengenai pemerintah sesuatu negara atau terhadap negara lain.1
Sebagai suatu system, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan
antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa
pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan
serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan iti diberikan; kepada
siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung
jawabnya.2
Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata tersebut dan
kata-kata lainnya berkaitan dengan politik seperti keadilan, musyawarah pada mulanya bukan ditunjukan untuk masalah
politik. Kata siyasah dijumpai pada bidang kajian hokum,
yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya
bahasan tentang fiqih siyasah. Demikien pula kata daulah pada mulanya dalam al-Qur’an digunakan
untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang-orang kaya. Karena menurut
sifatnya harta tersebut harus bergilir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai
oleh orang-orang kaya (daulah baina agniya), maka kata daulah tersebut juga digunakan untuk
masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan yang
lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam memutuskan perkara
dalam kehidupan;dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami
istri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh perempuan lain yang
dalam hal ini perlu di musyawarahkan.3
B. EKSISTENSI
POLITIK DALAM ISLAM
Dikalangan masyarakat islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah
politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang
kurang utuh terhadap cangkupan ajaran islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya
mengatakan: “Banyak orang, bahkan pemeluk islam bukan hanya agama, tetapi juga
sebuah komunitas tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan
tujuan-tujuan sendiri. Banyak orang beragama islam tetapi hanya menganggap
islam adalah agama individual, dan lupa kalau islam juga merupakan
kolektivitas. Sebagai kolektivitas islam mempunyai kesadaran, struktur dan
mampu melakukan aksi bersama.4
Keterkaitan agama islam dengan aspek politik selanjutnya dijelaskan oleh
Harun Nasution bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam islam menurut
sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.5 Dan sejarah islam mengatakan
bahwa pemerintan bermula dari bentuk kekerajaan, karena pengangkatan kepala negara
tidak lagi berdasarkan musyawarah secara demokratis, melainkan berdasarkan
penunjukan kepada putra mahkota secara otokratis.
Pemerintahan yang diterapkan oleh Bani Abbasiyah ssama dengan yang yang
di terapkan pada Bani Umayyah, yaitu system kerajaan yang bercorak otokratis.
Dan setelah Bani Abbas hancur pemerintah islam mengambil bentuk Kesultanan,
yaitu Kesultanan Usmani, Kesultanan Safawi dan Kesultanan Moghul yang
menerapkan system kekerajaan. Dan setelah kesultanan itu hancur oleh kaum
penjajah maka pemerintahan yang diterapkan mengikuti kaum penjajah.
Berdasarkan penelusuran kesejarahan tersebut, islam sejak lahirnya telah
mengenal bentuk pemerintahan atau sudah mengenal system politik. Selain itu
data sejarah tersebut juga menunjukan bahwa islam tidak mengenal pemerintahan
tertentu. Islam dapat menerima bentuk dan system pemerintahan apapun sepanjang
bentuk dan system pemerintahan tersebut dapat menegakkan keadilan, kemakmuran,
kesejahteraan lahir batin, aman dan damai bagi seluruh masyarakat.
Keberadaan politik dalam islam dapat dilihat dari munculnya berbagai
teori politik, khususnya khilafah dan imamiyah yang diajukan berbagai aliran.
Berbagai aliran politik, teologo, bahkan juga para filosof sudah berbicara
tentang politik. Jika kaum syi’ah misalnya,mengatakan bahwa kekuasaan
pemerintah harus berasal Ali bin Abi Thalib, maka kaum Sunni tidak menerima
paham-paham tersebut. Sementara itu di kalangan Khawarij terdapat doktrin yang
mengatakan bahwa seorang khalifah dapat dijatuhkan oleh rakyat manakala sudah
menyimpang dari syari’at islam yang diyakini paling benar. Sedangkan al-Ghazali6 dari kalangan Sanni berpendapat
bahwa khalifah tiidak dapat dijatuhkan, walaupun khalifah yang zalim.
Menggulingkan khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa kekacauan dan
pembunuhan dalam masyarakat. Dalam kaitan ini al-Ghazali kelihatannya lebih
mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Khalifah menyerahkan kekuasaan untuk
memerintah kepada sultan yang berkuasa.
Selain kaum teolog, kaum filosof islam juga mambahas soal politik dalam
islam. Al-Farabi meninggalkan buku bernama al-Madinah al-Fadilah (Negara
Terbaik). Ia menguraikan bahwa Negara terbaik ialah Negara yang dikepalai
seorang Rasul. Sementara Ibn Sina juga berpendapat bahwa Negara terbaik adalah
Negara yang dipimpin Rasul dan sesudah itu Negara yang dipimpin oleh filosof.
Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum (syari’ah), mementingkan soal
spiritualdan moral; dan harus bersikap adil. Ia harus membawa umat kepada
kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.7
Munawir Sjadzali, berdasrkan hasil penelitiannya, menginformasikan bahwa
di kalangan umat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan
islam dan ketatanegaraan.
Aliran
pertama berpendirian bahwa islam bukan semata-mata agama dan pengertian barat,
yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya islam
adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala
aspek kehidupan manusia,termasuk kehidupan bernegara.
Aliran
kedua berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak
ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Aliran
ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan
bahwa dalam islam terdapat system kenegaraan.
Diantara tokoh-tokoh dari aliran di atas, yang terhitung menonjol adalah
Mohammad Husein Haikal, seorang pengarang islam yang cukup terkenal dan penulis
buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi.8 Secara hakiki, sejarah pemikiran
islam sejak awal pertumbuhannya termasuk di bidang politik, adalah sejarah
aliran mazhab dan firqah.9 Pada
zaman modern, ketika umat islam di hadapkan pada tantangan kolonialisme dan
modernism dalam segala aspek dan seginya, masalah aliran pemikiran islam
menjadi semakin rumit. Sikap yang dapat di ambil dalam keadaan demikian, dengan
memandang semua aliran tersebut adalah islam dan tidak keluar darinya.
C. MODEL-MODEL
PENELITIAN POLITIK
Menurut Alfian, permasalahan politik
dapat dikajii melalui berbagai macam pendekatan. Ia dapat dipelajari dari sudut
kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik, komunikasi politik,
konstitusi, pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran politik, dan juga
kebudayaan politik.10
Memahami berbagai pendekatan dalam
masalah politik ini diperlukan selain alat untuk melakukan kajian, juga untuk
melakukan analisa terhadap model penellitian yang kita lakukan dan yang
dilakukan oleh orang lain. Berikut ini model penelitian yang dilakukan oleh M.
Syafi’I Ma’arif dan Harry J.Benda.
1. Model
Syafi’I Ma’arif
Salah satu hasil penelitian bidang
politik yang dilakukan Syafi’I Ma’arif tertuang dalam buku yang berjudul Islam dan Masalah
Kenegaraan. Pada bagian pendahuluan
laporan hasil penelitiannya itu, Syafi’I mengemukakan substansi ajaran
al-Qur’an mengenai ketatanegaraan. Dalam kaitan ini dia mengatakan jika
perkembangan sosial keagamaan berlanjut menurut arah ini, maka usaha
intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan dan menyistematiskan
berbagai aspek ajaran islam mutlak perlu di galakkan agar ummat islam punya
kemampuan menghadapi dan memecahkan masalah-masalah modern yang sedang dihadapi
oleh bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, pertambahan
penduduk, pendidikan, perkembangan politik dan yang sangat mendesak mendesak adalah masalah
keadilan sosio-ekonomi.
Dengan mengikuti pandangan ini,
menurutnya studi al-Qur’an secara mendalam dan sistematik menjadisangat mutlak
diperlukan. Tanpa kerja strategis ini bangunan sosio politik islamakan tetap
goyang, dan tanpa formulasi yang jelas orang yang membicarakan rekonstruksi
sosial ummat islam. Perkataan ummat Islam dalam kaitan ini menurutnya sebagai
sebuah masyarakat Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari mereka yang
berorientasi Islam, atau mereka yang memegang Islam secara hidup. Oleh sebab
itu hanyalah karena alasan teknis, muslim abangan menurutnya tidak di masukkan
dalam katagori ini.11
Hal
ini sejalan dengan pernyataan Fred R. Von der Mehden yang menyatakan bahwa
sekitar 90 persen rakyat Indonesia adalah muslim, tetapi sangat berbeda dengan
cara hidup. Yang paling menonjol dalam jumlah dan kekuasaan politik adalah
orang-orang muslim abangan, terutama yang berdiam di pulau Jawa dan sangat
diperbaharui mistik Jawa dan pengaruh-pengaruh Hindu-Budha yang tidak tampak. Menurutnya sebagian besar angkatan
bersenjata, yang memerintah Indonesia sejak akhir1960-an, berasal darigolongan
masyarakat ini, sebagai satu unsur penting dari birokrasi Negara.12
Berkenaan dengan kondisi ke islaman
yang demikian itu, maka pada bagian pendahulan penelitiannya itu, Syafi’i
Ma’arif mengatakan bahwa yang ingin ditegaskan ialah bahwa antara islam
cita-cita dan sejarah harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak
maju dari yang real menjadi mungkin, atau agar yang ideal (cita-cita) selalu
berada pada posisi yang lebih tinggi. Islam cita-cita ini sebagaimana yang
telah dijelaskan ke dalam realitas sejarah pada masa Nabi dan beberapa tahun
sesudah itu tetap merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya bagi ummat
islam sejak saat itu.13 Dalam
kaitan ini benar apa yang dikatakan Taufik Abdullah, bahwa sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang harus dianggap sebagai paradoks jika islam sebagai agama wahyu
yang universal dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin,
menampakkan dirinya dalam keragaman yang diwarnai oleh perjalanan sejarah dan
situasi sosial kultural dari masyarakat pemeluknya. Ketegangan antara doktrin
yang abadi dengan manivestasi dalam kehidupan pribadi dan sosial merupakan
faktor utama dari dinamika islam.14 Pada
bukunya yang lain Taufik Abdullah mengatakan tentu saja sikap dan perilaku
politik yang memakai sifat islam bermula dari suatu keprihatinan moral dan
doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual islam. Tanpa adanya
keprihatinan terhadap keberlakuan dan kelanjutan nilai-nilai spiritual yang
merupakan dasar dari suatu komunitas ini, maka tak dapat dipikirkan adanya
sikap politik islam.15
Berangkat dari pemikiran latar
belakang di atas, Syafi’I Ma’arif berusaha merumuskan permasalahan
penelitiannya, yaitu: sampai seberapa jauh dan beberapa dalam intelektual
muslim dan ulama islam Indonesia memahami jiwa segar dari islam cita-cita
sebagai yang terpancar dalam lingkungan sosiologisnya, yakni lingkungan dimana
nabi bergerak dan bekerja, bukan dalam ukuran-ukuran dan lembaga-lembaga yang
diciptakan belakangan.
Namun sungguhpun umat islam Indonesia
belum lagi kukuh dalam menciptakan suatu dasar yang lebih kukuh bagi fondasi
intelektual keagamaan mereka, sebagai anggota pinggiran dari pusat dunia islam,
umat islam Indonesia barangkali lebih beruntung setidak-tidaknya dalam satu
segi. Segi itu ialah kenyataan bahwa mereka belum pernah terlibat secara
sungguh-sungguh dalam kontroversi filosofis teologis sebagaimana yang ditemukan
dikalangan para yuris, sarjana, filosof dan teolog muslim abad pertengahan di
Timur Tengah, dan sampai batas tertentu di India dan Pakistan. Karena itu,
demikian Syafi’i Ma’arif mengatakan, lantaran mereka belum terjerat dalam suatu
tradisi yang sangat mengikat, maka cukup beralasan bagi islam Indonesia untuk
memulai suatu langkah yang segar bagi rekonstruksi sosios politik dan moral
islam. Rekonstruksi ini haruslah ditegakkan terutama atas ajaran-ajaran etik
al-Qur’an dan sunah Nabi yang sejati. Menurutnya disinilah terletak tantangan
yang sebenarnya bagi islam Indonesia pada waktu yang dekat ini.15 Dari urain yang terdapat pada
bagian pendahuluan tersebut terlihat bahwa masalah pokok yang ingin diteliti
oleh Syafi’I Ma’arif adalah ingin melihat seberapa jauh tingkat hubungan antara
ajaran etil al-Qur’an dan sunah Nabi yang sejati itu dengan kenyataan empiric
dalam sejarah kehidupan perpolitikan ummat Islam di Indonesia.
Dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan yang handal dan dengan pendekatan normative historis tersebut,
Syafi’I Ma’arif berhasil mengeksplorasi perpolitikan umat islam Indonesia pada
abad ke-20.
Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan
dalam lima bab yang saling berhubungan secara organic dan ligis. Bab I adalah
pendahuluan. Pada bagian ini ia mengemukakan pengertian singkat dan tepat
tentang al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang bertalian dengan topic kajiannya.
Selanjutnya diikuti dengan Bab II yang mengemukakakn secara hati-hati
teori-teori politikyang dirumuskan para yuris muslim abad pertengahan dan
sarjana-sarjana serta pemikir muslim modern. Selanjutnya pada Bab II dengan
bertitik berat pada mendekati islam Indonesia di abad ke-20, yang tidak saja
bersifat diskriptif historis, tetapi juga analisis evaluatif. Bab ini menurutnya dimaksudkan untuk memberikan suatu
latar belakang sejarah yang komprehensif terhadap topic yang dibicarakan.
Penyajian islam menurutnya lebih diberikan pada penyajian islam sebagai suatu
kekuatan pembebas (a liberating force).
Selanjutnya pada bab IV, ia
menguraikan secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan islam
sebagai dasar falsafah Negara oleh partai-partai islam dan tantangan kelompok
nasionalis dalam sidang-sidang Majelis Konstituante Republik Indonesia.
Pembenturan idiologi antar kedua kekuatan politik itu sangat mewarnai iklim
demokrasi Indonesia pada bagian akhir tahun 1950-an, sedangkan dampaknya masih
terasa sampai saat ini. Prospek dan kemungkinan-kemungkinan hari depan islam di
Indonesia juga di masukkan dalam bab IV. Sedangkan Bab V sebagai kesimpulan
dari penelitian itu.
Penelitian tersebut dilakukan dengan
alasan karena belum ada studi yang agak lengkap tentang masalh dasar Negara
Indonesia ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Karena
itu, menurutnya apa yang disajikan disini diharapkan akan sedikit member
kejelasan tentang watak dari arti islam dalam sejarah modern Indonesia,
terutama dalam hubungannya dengan perkembangan dan perubahan politik di negeri
ini.
Selanjutnya, Syafi’I Ma’arif
mengatakan alas an lain bagi studi ini ialah bahwa suatu analisa yang mendalam
tentang tema pokok dan topik-topik lain dalm esay ini akan melahirkan tiga
hipotesis yang berkaitan secara organik yang perlu dilacak lebih jauh. Tiga
hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Islam
di Indonesia, sebagaimana telah disinggungnya pada bagian awal merupakan suatu
agama yang dinamis; ia bergerak perlahan-lahn tapi nampaknya pasti dari posisi
kuantitas ke posisi kualitas.
2. Usaha-usaha
untuk mengubah Indonesia menjadi suatu Negara islam, sekalipun sah menurut
Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan usaha prematur dan tidak
realistic karena sebuah fondasi intelektual keagamaanyang kukuh bagi bangunan
serupa itu belum lagi diciptakkan. Erat hubungannya dengan masalah ini, ialah
kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia brlum memahami betul arti islam bgi
manusia, baik untuk kehidupan individual maupun kehidupan kolektif.
3. Prospek
islam di Indonesia nampaknya banyak tergantung pada kemampuan intelektual
muslim para ulama dan pemimpin-pemimpin islam yang lain untuk memahami realitas
masyarakat mereka, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun kultural
serta menghubungkan nya dengan ajaran- ajaran islam sebagaimana yang tersurat
dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang sejati.16
Dengan mengikuti urain tersebut, terlihat
dengan jelas bahwa model penelitian politik yang dilakukan Syafi’i Ma’arif
sangat baik untuk dijadikan model oleh para peneliti selanjutnya. Bentuk
penelitiannya bercorak diskriptif analitis. Pendektan dan analisis yang
digunakan bersifat normatif historis. Sedangkan data-data yang digunakan bersumber pada kajian
kepustakaan. Berbagai aspek lainnya yang lazim ada dalam penelitian yaitu latar
belakang pemikiran, tujuan, kerangka teori serta manfaat dari penelitian ini
juga amat jelas.
2. Model
Harry J. Benda
Penelitian di bidang politik dengan
menggunakan pendekatan historis dilakukan pula oleh Harry J. Benda, sebagaimana
terlihat dalam bukunya berjudul Bulan Sabit dan
Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang.
Penelitian tersebut berusaha mencari
informasi dari sumber-sumber sesudah perang, dalam usaha untuk menguji dan
memperbaiki gambaran yang telah muncul dari studi catatan-catatan masa
pendudukan. Menurutnya, berbeda berbeda dengan kolonialisme Belanda, pendudukan
Jepang di Indonesia pada umumnya dan perkembangan islam pada tahun-tahun
tersebut khususnya, sejauh ini sangat tidak mendapatkan perhatian dari kalangan
penulis-penulis Indonesia lainnya.
Sejalan dengan upaya tersebut, maka
penelitian yang ia lakukan dibuat untuk memberikan analisa sosio-historis
tentang elite islam, dan dalam jangkauan yang lebih kecil, tentang elite-elite
non-religius yang bersaing di panggung politik Indonesia di bawah kekuasaan
asing. Karenanya penelitian tersebut diarahkan pada tempat-tempat yang
diberikan pada pemimpin masyarakat islam oleh tuan penjajah berturut-turut, dan
konsistensi kekuasaan yang terpancar darinya yang melibatkan para pemimpin
islam, aristrokrat Indonesia, dan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis Indonesia
sekuler di abad ini.
Dilihat dari segi cangkupannya, secara
garis besar penelitian ini membahas tentang perkembangan islam di pulau Jawa
saja. Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini sebagian besar ditentukan
oleh sumber-sumber bahan yang bias di peroleh. Terutama bagi masa Jepang
catatan tertulis dari pulau-pulau lain, dengan beberapa pengecualian kecil,
tidak dapat diperoleh peneliti. Sedangkan efek-efek dari masa pendudukan Jepang
terhadap islam indonesia di Aceh, salah satu daerah islam di Sumatra yang kokoh
keislamannya, telah menjadi pembahasan yang sangat bagus dari monograf Belanda,
nasib masyarakat islam di daerah-daerah yang lain di Nusantara, terutama di
Daerah Pantai Barat Sumatra yang penting itu, masih harus di pelajari secara
terperinci.
Bagian pertama, peneliti memasukkan
referensi singkat tentang wilayah tersebut, dimana hal ini kelihatannya sesuai
untuk memperbandinkan dan mempertentangkannya dengan situasi di Jawa, tetapi
sayangnya peneliti tidak sanggup melakukan penelitian bagian ini kedalam zaman
Jepang.
Selanjutnya dikatakan dalam buku
tersebut, karena aspek politik islam Indonesia merupakan pokok utama dalam buku
tersebut, generalisasai tidak dapat dihindarkan. Pembahasan seperti ini
terpaksa tidak memperdulikan batas dipulau Jawa, dimana cabang-cabang
politiknya, teristimewa di karisedinenan Banten di Jawa Barat, dinilai harus
mendapatkan perhatian tersendiri.
Diantara kesimpulan yang dihasilkan
dari penelitian tersebut adalah meskipun islam di daerah lain tak dapat di
sangkal telah memainkan peranan utama di dalam perkembamgan politik Indonesia,
di Jawa menurut Benda telah mendapatkan perwujudan organisatoris paling
penting. Disanalah juga.kelompok-kelompok islam, paling langsung terlibat dalam
membentuk politik Indonesia pada umumnya.17
Dari uraian tersebut di atas, terlihat
bahwa model penelitian yang dilakukan Harry J. Benda mengambil untuk penelitian
kepustakaan dengan corak penelitian diskriptif, dengan menggunakan pendekatan
analisis sosio-historis, sebagaimana penelitian yang dilakukan Syafi’I Ma’arif
tersebut di atas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari materi yang telah di bahas dapat
disimpulkan bahwa politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau
kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan
sebagainya, dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan),
siasat dan sebagainya mengenai pemerintah sesuatu negara atau terhadap negara
lain.
Permasalahan
politik dapat dikajii melalui berbagai macam pendekatan. Hal tersebut dapat
dipelajari dari sudut kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik,
komunikasi politik, konstitusi, pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran
politik, dan juga kebudayaan politik.
Ada dua jenis model penelitian politik
yakni model penelitian politik yang dilakukan oleh Syafi’i Ma’arif dan Harry J.
Benda yang mana terlihat bahwa model penelitian yang dilakukan Harry J. Benda
mengambil untuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian diskriptif,
dengan menggunakan pendekatan analisis sosio-historis, sebagaimana penelitian
yang dilakukan Syafi’I Ma’arif.
0 komentar: