Makalah Ushul Fiqh
PEMBAHASAN
A. Definisi Qiyas
Sebelum membahas
mengenai rukun-rukun Qiyas, terlebih dahulu harus mengetahui definisi dan
kedudukan Qiyas. Menurut bahasa, Qiyas artinya ukuran atau mengukur (التقدير), mengetahui ukuran
sesuatu (الإعتبار), atau menyamakan (المساوة) sesuatu dengan yang
lain. Qiyas dalam istilah ushul, yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat
nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal
hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini.
Sedangkan secara
terminology, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqih dengan redaksi yang
berbeda sesuai dengan pendapat masing-masing, namun mengandung pengertian yang
sama. Definisi Qiyas menurut para ahli diantara adalah sebagai berikut:
a. Menurut Saifuddin
Al-Amidi
Qiyas adalah mempersamakan
illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada ashl yang diistinbatkan
dari hukum ashl.
b. Menurut ulama
Syafi’iyah
Qiyas adalah membawa hukum
yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi
keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang
menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
c. Menurut Wahbah
Al-Zuhaili
Qiyas adalah menyatukan
sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang
disebutkan hukumnya oleh nash disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.
Dari beberapa
pendapat para ahli ushul fiqih tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Qiyas
menurut istilah adalah menggabungkan suatu pekerjaan pada pekerjaa lain tentang
hukumnya, karena kedua pekerjaan itu memiliki persamaan sebab (illat) yang
menyebabkan hukumnya harus sama.
B. KEDUDUKAN QIYAS
SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sebagian besar ulama
figh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa Qiyas dapat
dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam
ajaran islam. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam hal kadar penggunaan
Qiyas dan macam-macam Qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum,
ada yang membatasinya, dan ada yang tidak membatasinya, dan semua itu baru
mereka lakukan apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu
nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil
ulama yang tidak memperbolehkan penggunaan Qiyas sebagai dasar hujjah,
diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.
Mengenai dasar hukum Qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an, al-Hadits dan perbuatan sahabat, yaitu :
1. al-Qur’an
Qiyas menurut para
Ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur-an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan yakni:
Allah SWT berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri
kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang
demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’:59)
Dari ayat di atas
dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar
menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada
dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika
tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya
kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam
hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya: “Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah. Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka, mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas
terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat
dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya
ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang
terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir
itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang
kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan
ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara'
dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
2. al-Hadits
Kedudukan Qiyas dalam
hadits yakni:
1) Setelah Rasulullah
melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubenur Yaman, beliau bertanya kepadanya yang
artinya:
"Bagaimana
(cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz
menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud
dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat
dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad
itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2) Rasulullah Saw.
pernah menggunakan Qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat
kepadanya, seperti:
“Sesungguhnya seorang
wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah Saw. ia berkata:
sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak
sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban
melaksanakan hajinya? Rasullah Saw. menjawab: Benar, laksanakanlah haji
untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai utang, tentu kamu yang akan
melunasinya. Bayarlah utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih utama
untuk dibayar.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan an-Nasâ’i dari Ibnu Abbas)
Pada hadits di atas
Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia.
Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam
keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk
menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya
kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka
anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama
dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib
dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara
demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
3) Perbuatan Sahabat
Para sahabat nabi
SAW. Banyak melakukan Qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para
sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain. Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat
kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap
dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu
ialah:
“Kemudian pahamilah
benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Kemudian lakukanlah Qiyas dalam keadaan
demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian
berpeganglah terhadap pendapatmu yang paling baik disisi Allah dan yang paling
sesuai dengan kebenaran”.
4) Akal
Tujuan Allah SWT
menetapakan syara’ bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Dalam setiap peristiwa
ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum
dari peristiwa yang ada, nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa
yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah
ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan
memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari
peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.
Bila diperhatikan
akan tampak bahwa nash-nash al-Quran dan al-Hadis ada yang bersifat umum
penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang
mubayyan. Bisaanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum
dari syari’at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat
bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah
terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya,
sedang tidak ada nash secara khusus tentang mashlah itu yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada
prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam
al-Quran dan Hadis. Dengan melakukan Qiyas maka hukum dari setiap peristiwa
yang terjadi dapat ditetapkan.
C. Rukun-Rukun Qiyas
Para ulama ushul
fiqih sepakat bahwa rukun qiyas itu terdiri atas
empat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ashl
Ashl (الاصل) adalah merupakan
obyek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Alquran, Hadis Rasulullah saw,
atau Ijma’. Ashl juga bisa dinamakan Muqayas ‘alaih (yang diqiyaskan
kepadanya), Mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan Musyabbah bih
(yang diserupakan dengannya). Adapun syarat-syaratnya yaitu:
a) Bukan hasil hukum
melalui qiyas. Contohnya yang salah, jambu diqiyaskan dengan apel dalam
pengharaman riba, illatnya karena sama-sama dimakan, pendapat apel qiyasan dari
kurma.
b) Nash itu tidak
dikhususkan kepada obyek tertentu. Contoh Rasul dibolehkan kawin lebih dari
empat.
c) Tidak ada nash yang
menjelaskan far’un. Hukum ashl terdahulu dari hukum far’un, contoh yang salah
wudhu diqiyaskan dengan tayammum karena thahara pada hal wudhu lebih dahulu
dari pada Tayammum.
Contoh dari Ashl
yakni minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya.
Untuk menetapkan hukumnya, dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan
minum khamar, yang diharamkan berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah (5):
90)
Menunjukkan haram
meminum khamar dan narkotik, yakni sama-sama berakibat memabukkan bagi
peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Air buah (nira) tamar adalah furu’,
karena tidak terdapat nash bagi hukumnya. Disamakan dengan khamar, karena keduanya
ini memabukkan. Maka disamakan dengan itu dari segi haram. Ada enam perkara
yaitu, emas, perak, gandum, syair, tamar dan garam. Ini adalah ashl karena
terdadpat nash. Dengan diharamkannya riba fadhal dan riba nasi-ah, apabila tiap-tiap
yang tersebut itu diperjualbelikan dengan yang sejenis. Barangkali karena
kadar-kadarnya itu dikuatkan dengan timbangan, takaran disamping kesatuan
jenis.
2. Far’u
Far’u (الفر) adalah obyek akan
ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan
hukumnya. Bisaanya juga dianamakan Muqayas (المقيس), Mahmul alaih, dan Musyabah (المشبه). Syarat-syaratnya:
a) Ada persamaan ‘illat
antara ushul dan far’u, contoh anggur karena ‘illat yang ada padanya sama
dengan ‘illat khamar yaitu memabukkan.
b) Hukum ashl itu tetap
ada (tidak mansukh).
c) Hukum far’u
datang setelah hukum ashl.
d) Far’u tersebut atau
ijma’ yang meneguhkan hukumnya.
Adapun contoh furu’
yakni, biji sawi, beras, dan cabe, karena tidak terdapat nash dalam hukumnya.
Yang tersebut ini disamakan dengan sesuatu yang terdapat nashnya, dalam hal ini
harus diukur. Disamakan hukumnya itu bila diadakan tukar menukar menurut jenisnya.
Ashl dan furu’ adalah dua hal (peristiwa) yang satu sudah ditunjuk hukumnya
oleh nash, sedangkan yang lain belum ditunjuk, dan karenanya hendak dicari
hukumnya. Keduanya tidak memerlukan syarat-syarat, selain yang ashl yang sudah
mempunyai hukum yang telah ditetapkan oleh nash, sedang yang furu’ belum
mempunyai hukum baik yang ditetapkan oleh nash, maupun ijma’ dan tidak ada
penghalang untuk menyamakan hukum keduanya.
3. Hukum Ashl
Hukum Ashl (الاصل حكم) adalah hukum
syara’yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u,
seperti keharaman meminum khamar. Adapun hukum yang ditetapkan pada far’u pada
dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.
Syarat Hukum Ashl:
a) Hukum Ashl harus
berupa hukum syara’ amali (pekerjaan para mukhallaf) dengan dalil dari
al-Quran, Sunnah atau ijma sahabat.
Adapun hukum syara’
amali yang ditetapkan oleh Ijma’, menurut jumhur tidak dapat tidak dapat
dijadikan tempat mengqiyaskan. Sebab sebagaimana diketahui bahwa didalam ijma’
itu tidak lazim disebutkan sandarannya sebagai hukum yang telah mujma’’alaih
(disepakati atas dasar ijma’).
Hukum syara’’amali
yang ditetapkan oleh Qiyas tidak dapat dijadikan tempat mengqiyaskan suatu
peristiwa. Sebab jika ‘illat cabang itu sama dengan ‘illat hukum yang
ditetapkan dengan Qiyas, maka ‘illat cabang itu sama dengan ‘illat peristiwa
yang sudah mempunyai nash dan hukum yang diberikan oleh qiyas adalah hukum peristiwa
yang mempunyai nash dan jika ‘illatnya tidak sama, maka tidak sahlah
menyampaikan hukumnya.
b) Hukum ashl hendaklah
tergolong suatu hukum yang ‘illatnya dapat dicapai oleh akal.
Jika tidak ada jalan
bagi akal untuk mencapai ‘illatnya, maka tidak mungkin hukum ashl itu
dipergunakan untuk menetapkan hukum peristiwa yang diqiyaskan. Sebab asas Qiyas
itu ialah menetapkan hukum ashl yang kemudian menerapkannya pada cabang.
Hukum-hukum yang demikian itu disebut hukum ta’abbudiyah atau ghair ma’qulil ma’na.
Kaitannya dengan
‘illat hukum syari’at amaliyah ada dua macam, pertama hukum-hukum yang
‘illatnya hanya diketahui oleh Allah sendiri dan tidak ada jalan untuk
mengtahui ‘illat-‘illat itu. Kedua, hukum-hukum yang ‘illatnya tidak khusus
hanya diketahui oleh Allah saja, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada akal
untuk mengetahui ‘illatnya, baik dengan jalan nash atau dalil-dalil yang lain.
Hukum-hukum tersebut dinamai hukum-hukum ma’qulul ma’na. dengan demikian
syarat sahnya hukum ashl, hendaknya hukum ashl itu hukum yang ma’qulul ma’na.
c) Hukum ashl tidak
dikhususkan untuk sesuatu
Jika demikian halnya,
maka tidak dapat dipergunakan untuk yang lain dengan jalan mengqiyasknnya.
Hukum ashl itu dikhususkan untuk sesuatu bila berada dalam dua keadaan:
Pertama, bila ‘illat hukumnya
tidak terdapat pada selain yang ashl. Misalnya mengqashar sholat bagi musafir.
Mengqashar sholat itu adalah hukum yang ma’qulul ma’na, karena
disyari’atkan demikian itu untuk menghindarkan kemasyalahatan. Tetapi ‘illatnya
adalah bepergian dan itu tidak berwujud pada selain mengadakan perjalanan.
Kedua, bila ada dalil yang
mengkhususkan hukum ashl. Misalnya hukum-hukum yang ditunjuk oleh dalil bahwa
hukum itu hanya khusus bagi Rasulullah saja. Seperti perkawinan beliau dengan
wanita-wanita melebihi 4 orang, larangan mengawini istri-istri beliau
sepeninggal beliau dan ketetapan beliau menganggap cukup persaksian dalam
peradilan yang dilakukan oleh Khuzaimah bin Tsabit sendirian, dalam sabdanya:
“Siapa yang
dipersaksikan oleh Khuzaimah, maka cukup kuatlah persaksian itu”.
d) Hukum ashl tidak
boleh dipindahkan dari sunnah-sunnah qiyas. Maksudnya, jika telah
disyariatkan sejak dari awalnya dan tidak ada pembandingnya, seperti
halnya keringanan safar, atau maknanya tidak dapat dipahami dan
dikecualikan dari kaidah umum, seperti persaksiannya Khuzaimah yang bisa
menggantikan dua orang saksi, atau dimulai dengannya dan tidak
dikecualikan dari kaidah apapun, seperti bilangan rakaat dan ukuran hudud.
4. ‘Illat
‘Illat (العلة) adalah
sesuatu yang karena keberadaannya, maka hukum menjadi ada. Juga disebut
perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’ (pensyariatan suatu
hukum). Illat merupakan suatu sifat yang terdapat pada suatu Ashl (pokok) yang
menjadi dasar daripada hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya
hukum itu pada far’u (cabangnya). Jadi bias dikatakan bahwa ‘Illat-lah
yang membangkitkan hukum. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Gazali
tentang definisi ‘illat:
“Sifat yang
berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan
syari”.
Menurutnya, ‘illat
itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum, dalam arti: adanya
suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Imam al-Gazali berpendapat bahwa
pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena
adanya izin Allah.
Sedangkan menurut
Mu’tazilah, ‘illat adalah sifat yang secara langsung mempengaruhi hukum, bukan
atas kehendak Allah. Menurut mereka ,‘illat itulah yang menyebabkan hukum itu
disyari’atkan, dan syari’ dalam hal ini harus mengikuti ‘illat tersebut. Oleh
sebab itu, suatu hukum tidak tergantung kepada syari’, tetapi tergantung kepada
‘illatnya. Misalnya, pembunuhan sengaja, secara logika, menjadi penyebab
wajibnya seseorang diqishash. Dalam hal ini tidak perlu campur tangan syari’,
karena menurut mereka, berdasarkan akal saja hal ini telah dapat diketahui. Karena
adanya pembunuhan sengaja ini, maka Allah “wajib” menentukan hukuman qishash
untuk menghindari orang melakukan kemafsadatan dan agar tercapai kemaslahatan.
Sebagai contoh adalah
menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini
disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa
pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashl.
Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum
ashl) berdasarkan firman Allah SWT :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat
antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya
harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama
dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Ø Syarat ‘Illat
1) Sifat 'illat itu
hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini
diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada
fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera
dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashl) dan
terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual
harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan
masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan
tidaknya hukum pada ashl.
2) Sifat 'illat itu
hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada
pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashl dan
fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang
akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar
qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima
wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3) 'Illat harus berupa
sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras
dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan
adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu
terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri
dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya
qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk
memelihara kehidupan manusia.
4) 'Illat itu tidak
hanya terdapat pada ashl saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula
diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashl itu. Seperti hukum-hukum
yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Jadi,
tidak boleh memberikan ‘illat pengharaman khamar karena ia adalah perasan
anggur yang menjadi minuman keras. Begitu pula tidak boleh memberikan ‘illat
pengharaman riba berkenaan dengan harta riba karena ia adalah emas dan perak.
Ø Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi
ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan
hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
(sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh)
Yaitu persesuaian
yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa
pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu,
seperti firman Allah SWT:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: "Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid."
(al-Baqarah (2): 222)
Pada ayat di atas
Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri
isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran,
karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya.
Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid
adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim (sifat
yang sesuai lagi cocok)
Yaitu persesuaian
yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian
itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang
dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada
masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi.
Contohnya ialah
kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak
ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta
anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat
hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah
perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat
pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti
penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah
perwaliannya.
c. Munasib mursal (sifat
yang sesuai lagi bebas)
Yaitu munasib yang
tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa
sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya
mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara'
membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau
mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah
Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu
al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta
dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan
tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulgha (sifat
yang sesuai yang sia-sia)
Yaitu munasib yang
tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan
bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada
itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut,
bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai
contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas
dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan.
Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian
laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
Ø Musâlikul 'illat
(cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat,
ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari
suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum. Ada tiga cara untuk mengetahui ‘illat yaitu:
a) Nash
Apabila nash dalam
Al-Qur’an atau dalam Sunnah menunjukkan bahwa ‘illat suatu hukum adalah sifat
ini, maka sifat tersebut menjadi ‘illat berdasarkan nash, dan ia disebut dengan ‘illat al-Manshush
‘alaiha (yang disebutkan dalam nash).
b) Ijma’
Apabila para mujtahid
pada suatu masa sepakat atas keillatan suatu sifat bagi suatu hukum syara’,
maka keillatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma’.
c) As-Sibr wat-Taqsim
Pengertian As-Sibr yakni percobaan dan
dari lafadz itu munculah lafadz al-misbar (alat untuk
menyelidiki dalamnya luka). Sedangkan taqsim ialah pembatasan
sifat-sifat yang layak untuk menjadi ‘illat pada Ashl (pokok). Apabila ada
nash mengenai hukum syara’ tentang suatu kejadian dan tidak ada nash maupun
ijma’ yang menunjukkan terhadap ‘illat dalam hukum ini, maka seorang mujtahid
akan menempuh jalur sibr dan taqsim untuk dapat sampai
kepada pengetahuan akan ‘illat hukum ini.
D. Rukun Qiyas menurut
Ulama Syafi’i
1. Ashl
Imam Syafi’i hanya
mengakui ijtihad dalam bentuk al-qiyas saja, karena
menurutnya hanya al-qiyas yang mengharuskan
adanya sanad (landasan). Ia tidak
mengakui bentuk ijtihad yang tidak mempunyai sanad (landasan). Ia
menolak istihsan, karena dianggapnya tidak mempunyai sanad. Sanad dalam istilah Imam
Syafi’i disebutnya khabar mutaqaddam, sedangkan dalam istilah ulama ushul lainnya
disebut ashl.
Adapun syarat Ashl
menurut Imam Syafi’i yakni:
1) Bahwa Ashl harus
berupa khabar baik al-Qur’an maupun al-Sunnah. Dalam pandangan Imam
Syafi’i sanad al-Qiyas hanya dibatasi pada khabar baik al-Qur’an maupun
al-Sunnah, karena keduanya merupakan sumber pengetahuan yang benar yang wajib
dicari.
2) Bahwa khabar yang
menjadi Ashl atau sanad al-Qiyas itu, mutaddam (terdahulu dari far’u yang akan
dicari hukumnya). Keharusan Ashl terdahulu dari far’u, karena menjadi rujukan
al-Qiyas dalam mendapatkan hukum far’u.
2. Hukum Ashl
Menurut Imam Syafi’i
hukum ashl adalah hukum yang ditetapkan Allah (dalam Al-Qur’an) atau Rasul_Nya
(dalam al-Sunnah) secara tegas (sarih, lafziyyah) maupun secara ma’nawiyyah yang dijadikan alasan
penetapan.
Syarat-syarat hukum
ashl menurut Imam Syafi’i yakni:
1) Sudah ditetapkan
dalam nash. Hukum Ashl dengan Ashl memiliki keterkaitan yang erat karena Ashl
yang tidak atau belum mempunyai hukum akan berakibat kevakuman hukum ketika
penjelasannya dibutuhkan dalam mengantisipasi peristiwa hukum.
2) Bahwa hukum dalam
peristiwa Ashl, ma’qul al-ma’na (bisa dicerna akal
tentang tujuan yang dijadikan alas an penetapannya oleh Syari’). Persyaratan
ini diketahui dari pernyataan Imam Syafi’i bahwa ia ditetapkan berdasarkan pada
sesuatu ma’na. Hukum Ash yang ma’qal al-ma’na ini pada umumnya
menyangkut hukkum kebendaan dan transaksinnya.
3) Bahwa hukum ashl
bukan merupakan rukhsah. Ketidakbolehan
mengqiyaskan hukum rukhsah disebabkan
ketentuannya dalam bentuk pengecualian yang tidak sejalan dengan kaidah
al-Qiyah. Setiap hukum yang ditetapkan tidak menurut kaidah al-Qiyas, tidak
boleh diqiyaskan.
4) Bahwa hukum Ashl
bukan merupakan ketentuan khusus, yang terdapat petunjuk tentang kekhususannya.
Ketidakbolehan al-Qiyas peda hukum khusus, disebabkan tidak ma’qul al-ma’na (tidak bisa diserap
akal mengenai alasan ditetapkan khususnya) dan ‘illatnya qasirah.
3. Far’u
Imam Syafi’i tidak
menyebutkan secara tegas apa yang disebut far’u, akan tetapi dari
pernyataan yang dikemukakannya yakni:
“Apabila kita temui
pada peristiwa yang tak disebutkan dalam nas suatu makna yang sama dengan makna
peristiwa yang disebutkan nas, maka kita tetapkan halal atau haramnya karena ia
termasuk kedalam makna halal atau haramnya.”
Jadi pengertian far’u
menurutnya adalah peristiwa yang tidak disebutkan secara tegas dalam nas yang
dimaksudkan untuk mencari hukumnya dengan cara mengqiyaskannya kepada ashl.
Syarat-syarat far’u
menurut pandangan Imam Syafi’i meliputi:
1) Bahwa far’u tidak
disebutkan hukumnya dalam nash. Persyaratan ini menegaskan bahwa tidak terjadi
al-Qiyas dalam peristiwa yang telah disebutkan hukumnya dalam nash, karena
esensi al-Qiyas adalah menghubungkan suatu peristiwa yang tidak disebutkan nash
kepada peristiwa yang disebutkan nash. Maka tidak rasional melakukan al-Qiyas
tentang peristiwa yang sudah disebutkan hukumnya dalam nash.
2) Bahwa pada far’u
terdapat ma’na (‘illat) yang sama
dengan ma’na yang dijadikan alasan
penetapan hukum ashl. Syarat ini menegaskan bahwa apabila ‘illat keharaman
khamar yang disebutkan nash adalah iskar (memabukkan) maka setiap peristiwa
far’u (segala bentuk mainuman) yang didapati pula sifat iskar seperti yang
terdapat dalam khamar, ditetapkan hukum haramnya.
4. ‘Illat
Menurut Imam Syafi’i
‘illat adalah setiap bentuk yang ditetapkan Allah atau Rasul_Nya ditemukan
petunjukkan dalam ketetapan itu sendiri atau pada beberapa ketetapan Allah atau
Rasul_Nya bahwa ia ditetapkan karena ma’na (tujuan yang menjadi
alasan ditetapkannya). Apabila kita temuai dalam peristiwa yang tak disebutkan
nas suatu makna yang sama dengan ma’na pada peristiwa
disebutkan nas, maka kita tetapkan hukum halal atau haramnya peristiwa yang tak
disebutkan nas itu, karena ia tercakup dalam ma’na halal dan haramnya
nas.
Syarat-syarat ‘illat
menurut pandangan Imam Syafi’i meliputi:
1) Bahwa ia dijadikan Syari’ sebagai alasan
ditetapkan hukum peristiwa yang disebutkan nash, artinya ‘illat yang efektif
menjadi landasan hukum.
2) Bahwa ‘illat harus
zahir, yaitu dapat diserap oleh panca indera.
3) Bahwa ‘illat itu
harus mundabit, yaitu sifat yang
sudah pasti, mempunyai hakikat yang nyata dan bisa diukur.
0 komentar: