Yahya Bin Umar
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP
Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha Mazhab Maliki.
Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al – Kannani Al –
Andalusi ini lahir pada tahun 213 Hdab dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti
para cendikiawan muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk
menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka
sahabat Abdullah bin Wahab Al – Maliki dan Ibn Al – Qasim, seperti Ibnu Al –
Kirwan Ramh dan Abu Al – Zhahir bin Al – Sarh. Setelah itu dia pindah ke Hijaz
dan berguru, diantaranya, kepada Abu Mus’ab Az – Zuhri. Akhirnya, Yahya bin
Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada
seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al – Farisi.
Kemudian Ia menjadi pengajar di Jami’ Al – Qairuwan. Pada masa
hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan
fuqaha Hanafiah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam
pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dan menetap di Sausah ketika Ibnu
’Abun, yang berusaha menyingkirkan para ulama yang menentangnya, baik dengan
cara memenjarakan maupun membunuh, menjabad qadi di negeti itu. Setelah Ibnu ‘
Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al – Aglabi menawarkan jabatan
Qadi kepada Yahya bin Umar. Namun beliau menolak dan memilih tetap tinggal di
Shausah serta mengajar di Jami’ Al – Sabt akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat
pata tahun 289 H ( 901 M ).
B. KARYA-KARYA YAHYA
BIN UMAR
Di samping mengajar ia juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai
40 juz. Yang terkenal
adalah kitab al – Muntakhabah fi Ikhtisar al – Mustakhrijah fi al – Fiqh al –
Maliki dan kitab ahkam al Suq. Kitab
Ahkam al – Suq yang berasal dari benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah ini
merupakan kitab pertama di dunia Islam yang khususmembahas hisbah dan berbagai
hukum pasar. Salah satu hal yang mempengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan,
tempat Yahya bin Umar menghabiskan bagian terpenting masa hidupnya.
Pada saat itu,
kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H
dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al – Muhibli hingga
sebelum masa Ja’far Al – Manshur, sangat memerhatikan
keberadaan institusi pasar. Bahkan, pada tahun 234 H, Kanun, penguasa lembaga peradilan kota
tersebut, mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalahan –
permasalahan pasar. Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan
telah memiliki dua keistimewaan :
a. Keberadaan institusi pasar mendapat
perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.
b. Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.
Tentang kitab Al- Ahkam al – Suq, Yahya bin Umar menyebutkan
bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan
dan takaran perdagangan dengan satu wilayah; kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak
terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga sehingga dikhawatirkan dapat
menimbulkan kemudharatan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitab Ahkam al-Suq sebenarnya merupakan penjelasan
dari jawaban kedua persoalan tersebut.
Dalam membahas kedua persoalan
tersebut, Yahya bin Umar menjelaskan secara komperhensif yang disertai dengan diskusi
panjang, hingga melampaui jawaban yang diperlukan. Sebelum menjawabnya, ia
menulis mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab melakukan inspeksi pasar, mengontrol timbangan dan takaran,
serta mengungkapkan perihal mata uang. Jika dilihat dari sisi metode pembahasan
ini berarti bahwa pembahasan dalam kitab al-Suq lebih banyak menggunakan metode diskusi atau dialoq daripada metode persentasi
katagorisasi.
Yahya bin Umar diyakini
mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di kota Sausah pada masa pasca
konflik. Dalam perkembangan berikutnya, terdapat dua riwayat tentang tentang
kitab ini, Riwayat al-Qashri yang sekarang kita pelajari dan Riwayat al-Shibli.
C. PEMIKIRAN
EKONOMI YAHYA BIN UMAR (213 -289 H)
Menurut Yahya bin Umar, aktifitas ekonomi merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari ketaqwaan seorang mislim kepada Allah SWT. Hal ini berarti
bahwa ketaqwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama
yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, disamping Al – Quran,
setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah
nabi Muhammad SAW dalam melakukan setiap aktifitas ekonominya. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa keberkahan akan selalu menyertai orang – orang yang bertaqwa,
sesuai dengan firman Allah :
“ jikalau sekiranya penduduk negeri –
negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ( ayat – ayat Kami )
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ( Qs Al – A’raf :96 )”
Berikut adalah pemikiran ekonomi
modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya :
1. Ihtikar (Monopoly’s
Rent-Seeking)
Tentang ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya
kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang.
Apabila hal tersebut terjadi, barang danganan hasil timbunan tersebut harus
dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan
terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya
berhak mendapat modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingati
parapelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak
memperdulikan peringatan tersubut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan
memukul, lari mengelilingi kota dan memenjarakannya.
Islam secara tegas melarang praktek ihtikar, sebab
ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, di mana penjual akan
menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang
tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang.
Berdasarkan hukum ekonomi, maka:
”Semakin
sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan
permintaan terhadap barang semakin berkurang.”
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual
barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal (super normal
profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar
masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu,
dalam pasar monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga).
Para ulama sepakat bahwa pengharaman ihtikar adalah
karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi manusia. Sedangkan kemudharatan
merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak
hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan
yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan
di antara manusia, sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih
tinggi dari ongkos marjinal. Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat
kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi,
apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia.
Menurut Yahya bin Umar apabila harga di pasar
mengalami ketidak stabilan karena ulah dari beberapa pedagang, maka pemerintah
sebagai lembaga formal harus melakukan intervensi terhadap harga di pasar
tersebut, dengan mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price (keseimbangan harga). Tindakan yang
bisa dilakukan oleh pemerintah adalah akan menjual barang dagangan hasil
timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan apabila ada keuntungan
dari hasil penjualan, maka hasil penjualan tersebut disedekahkan kepada fakir
miskin.
Sedangkan pelaku ihtikar hanya berhak
mendapatkan modal pokonya saja. Hal ini dilakukan sebagai pembelajaran terhadap
pelaku ihtikar. Selanjutnya pemerintah akan memberikan teguran kepada pelaku
ihtikar agar tidak mengulangi perbuaannya lagi. Apabila mereka tidak
memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan
memukulnya, lari mengelilingi kota dan memenjarakannya.
Tetapi yang harus dipahami lebih lanjut adalah,
sesuatu baru dikatakan sebagai ihtikar apabila, barang yang ditimbun merupakan
kebutuhan pokok masyarakat dan penimbunan dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal (super normal profit).
Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu
untuk kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk
persediaan kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar.
Sebab hal tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat,
justru jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu
harga barang akan turun drastis dan rakyat akan mengalami kerugian.
Bahkan pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang pemberian izin kepada Pedagang untuk
menimbun barang penting, seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula
dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula
masing-masing tidak lebih dari 500 Kg.
Dengan demikian pemerintah memperbolehkan melakukan
penimbunan barang oleh institusi tertentu dengan maksud untuk melindungi
konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang dimaksudkan untuk mendapatlan
keuntungan maksimal yang tidak wajar, jelas hal tersebut dilarang.
Beberapa perilaku yang dilakukan perusahaan / produsen
dalam melakukan tindakan ihtikar, yaitu:
a. Ada kemungkinan
keuntungan monopoli tetap bisa dinikmati produsen monopoli dalam jumlah yang
besar dan jangka panjang (PmXYZ).
b. Volume produksi (kuantitas
barang) lebih kecil dari volume output yang optimum (Qm), padahal produsen
sebenarnya mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang lebih besar (Q) atau
paling tidak di titik (Q1).
c. Ada unsur
“eksploitasi” oleh perusahaan-perusahaan monopoli, yang mana hal tersebut
terjadi terhadap:
1) Konsumen, dengan
ditetapkan harga jual (=P) di atas ongkos produksi dari unit terakhir outputnya
(=MC).
2) Pemilik
faktor-faktor produksi yang digunakan oleh produsen monopoli tersebut, dengan
dibayarnya faktor produksi dengan harga (=MC) yang lebih rendah dari nilai
pasar dari output yang dihasilkan (=P).
3) Kualitas barang
lebih rendah, dan konsumen terpaksa membeli sebab tidak ada barang lainnya.
Pada dasarnya peraturan tentang persaingan usaha yang
sehat cukup banyak ragamnya, masing-masing dikeluarkan melalui Undang-Undang
tersendiri di berbagai negara maju di dunia. Penelusuran dari informasi yang
ada, umumnya negara-negara tersebut mengeluarkan peraturan permainan persaingan
usaha yang sehat, dengan melarang hal-hal berikut ini:
a. Larangan
melakukan persengkongkolan bisnis yang merugikan pesaing lainnya.
b. Monopoli atau
memperoleh hak khusus atas dasar KKN dengan birokrat.
c. Proses tender
yang tidak transparan, atau menggunakan perusahaan alibaba.
d. Differensiasi
harga pada kelompok bisnis tertentu yang merugikan pihak pesaing.
e. Proses merger
dan akuisisi yang ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan.
f. Horizontal dan
vertical merger yang mangarah pada dominasi konsentrasi pasar. (Vertical merger
untuk tujuan efisiensi dan pengurangan harga jual masih diperbolehkan).
g. Proses produksi,
kualitas produk, dan kampanye iklan yang merugikan pihak konsumen.
h. Memberikan
informasi tentang produk dan pelayanan yang menyesatkan kepentingan komsumen.
2. Siyasah
al-Ighraq (Dumping Policy)
Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas
perdagangan yang bertujuan untuk mencari keuntungan dengan jalan menjual barang
pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran.
Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan
kemudlaratan bagi masyarakat.
Siyasah al-Ighraq (dumping) dilakukan oleh seseorang
dengan maksud agar para saingan dagangnya mengalami kebangkrutan. Dengan
demikian ia akan leluasa menentukan harga di pasar. Siyasah al ighraq atau
banting harga (dumping) dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta
dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar. Dalam kondisi seperti ini
pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang tersebut agar
menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.
Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka pemerintah berhak
mengusir para pedagang tersebut dari pasar.
Hal ini pernah dipraktekkan Khalifah Umar bin
Khaththab, ketika mendapati seorang pedang kismis yang menjual barang
dagangannya di bawah standart harga di pasar. Maka Khalifah Umar bin Khaththab
memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, menaikkan harga sesuai dengan
harga standart di pasar atau keluar dari pasar.
Menurut Dr. Rifa’at Al – Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang
melarang praktek banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga
– harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah
dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan.
Peran pemerintah untuk menertibkan sekaligus
memberikan kenyamanan dalam bentuk memberikan efek jera kepada para pelaku
ketidakadilan di atas sungguh diharapkan. Pernah suatu waktu, harga-harga
barang di pasar Madinah meningkat tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh para
sahabat kepada nabi, dan mereka meminta kepada nabi untuk mematok harga atas
barang-barang di pasar (al-tas`ir). Namun nabi menolak, dengan alasan khawatir
hal itu akan merugikan para penjual dari kalangan pemilik barang.
Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks waktu
diucapkannya perkataan nabi tersebut, jika seandainya nabi masih hidup saat
ini, niscaya beliau akan setuju dengan permintaan para sahabat untuk memberikan
harga standar atas barang-barang yang beredar di pasar. Perubahan karakter pada
pelaku bisnis dahulu dan sekarang tentunya yang merubah fatwa tersebut. Dan
bukan seperti yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis, bahwa
hakekatnya nabi mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para
pemiliki modal (the capital).
Demikianlah etika pasar dalam Islam, yang tidak semata
diarahkan bagi para pelaku bisnis baik pedagang dan pembeli saja, melainkan
juga bagi pembenahan sistem secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam
Islam ini menghendaki pembenahan sistem dan kerjasama sinergis antara semua
unsur baik pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah.
3. Dumping
Resiprokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa
diskriminasi harga (price discrimination) akan dapat meningkatkan perdagangan
luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kesan
tersebut tidak selamanya benar. anggap saja ada dua perusahaan monopoli yang
masing-masing memproduksi barang yang sama, satu didalam negeri dan satu
lainnya di luar negeri. Untuk menyederhanakan analisis ini, diasumsikan bahwa
kedua perusahaan tersebut memiliki marginal cost yang sama. Anggap juga
terdapat dua biaya transportasi antara kedua pasar tersebut sehingga, jika kita
memasukkan kemungkinan terjadinya praktik dumping, perdagangan dapat tetap saja
terjadi.
Dalam hal ini, setiap perushaan akan membatasi jumlah
barang yang akan dijual di pasar domestic. Apabila mampu menjual sejumlah kecil
barang di pasar lain, perusahaan akan menambah keuntungannya sekalipun harganya
lebih rendah dari pada yang ada di pasar domestic, karena efek negative
terhadap harga dari penjualan yang ada akan terkena pada perusahaan lain, bukan
perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, setiap perusahaan memiliki daya tarik
untuk “menyerbu” pasar lain, menjual sejumlah kecil unit pada tingkat harga yang
lebih rendah dari pada tingkat harga yang berlaku di pasar domestic, akan
tetapi tetap di atas marginal cost.
Apabila kedua perusahaan tersebut melakukan hal ini,
yang berarti reciprocal dumping, hasilnya akan timbul perdagangan yang tidak
memiliki perbedaan harga suatu barang dikedua pasar, sekalipun terdapat
biaya-biaya transportasi. Bahkan lebih dari pada itu, secara khusus, akan
terdapat dua jalur perdagangan dalam produk yang sama.
4. Intervensi
Pemerintah terhadap Ta’sir (Regulasi Harga)
Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply)
dan permintaan (demand) barang. Kedudukan pasar dalam Islam begitu tinggi,
sebab selain bidang pertanian dan perdagangan merupakan salah satu profesi yang
sangat dianjurkan oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah di dalamnya
terdapat aturan, mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan standar
aktifitas.
Karakteristik inilah yang menjadi kekhasan Islam yang
tidak mengenal dikotomi ranah dunia dan akherat. Aktifitas bisnis yang
berorientasi materiil selalu diimbangi dengan kecintaan membelanjakan harta di
jalan Allah (spirituil). Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kebebasan
dalam berekonomi. Sehingga Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
melakukan inovasi dan kreativitas dalam bermuamalah.
Dalam kondisi seperti ini, maka pemerintah di larang
melakukan intervensi terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun
1999 mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam
rangka menetapkan harga di pasar. Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita
ingat bahwa pengawasan harga muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW.
Pada masa itu Rasulullah bertindak sebagai Hasib
(pengawas) –versi Indonesia, KPPU- Komisi Pengawas Persaingan Usaha–. Kondisi
saat itu, masyarakat dihadapkan dalam kondisi harga yang melambung tinggi,
sehingga sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga. Namun demikian, Rasul
menolak permintaan sahabat tersebut. Rasul mengatakan ”Allah mengakui adanya
kelebihan dan kekurangan, Dia-lah pembuat harga berubah dan menjadi harga
sebenarnya, saya berdo’a agar Allah tidak membiarkan ketidakadilan seseorang
dalam darah atau hak milik.”
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عن انس بن مالك قال الناس: يارسول الله غلا اسعرفسعرلنا فقال رسول الله: ان الله هوالمسعرالقابض الباسط الرزاق وانى لارجو ان القى الله وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم ولا مال (رواه ابو داود)
Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata:
Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi
kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah penentu harga, penahan, yang
memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat bertemu dengan Allah dan
tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman dalam
persoalan jiwa dan harta.
Dari riwayat tersebut, dapatlah kiranya kita pahami
bahwa penetapan harga secara eksplisit tidak diperkenankan oleh Rasul. Sebab
dengan penetapan harga akan memicu ketidakadilan baru. Jika harga ditetapkan
jauh lebih tinggi maka konsumen akan dirugikan, sebaliknya jika harga ditetapkan
sangat rendah, maka produsen yang akan dirugikan. Bagi penulis, Hadist di atas
dilatar belakangi oleh kondisi harga yang dalam prespektif Rasul masih bisa di
jangkau oleh masyarakat. Selain itu, penetapan harga adalah sesuatu yang
sensitif, sebab jika terjadi kesalahan dalam menetapkan harga maka akan
melahirkan ketidakadilan (dhalim / injustice) baru dalam kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika
harga komoditas tidak bisa terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dalam hal ini,
jika kenaikan harga di pasar diakibatkan oleh ulah para spekulan, sehingga
menyebabkan instabilitas harga di pasar, pemerintah sebagai institusi formal
yang mempunyai tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan
intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan bagi
kehidupan masyarakat luas dengan melakukan stabilisasi.
Pernyataan Yahya bin Umar tersebut jelas mengindikasikan bahawa
hukum asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi baru dapat dilakukan jika
kesejahteraan umum terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada
pemeritah dalam mewujud keadilan
sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi.
Dua hal yang membolehkan pemerintah melakukan
intervensi terhadap regulasi harga di pasar, yaitu:
a. Para pedagang tidak menjual barang
dagangan tertentu (ihtikar/Monopoly’s Rent-Seeking), padahal masyarakat sangat
membutuhkannya, akibat ulah dari sebagian pedagang tersebut, harga di pasar
menjadi tidak stabil dan hal tersebut dapat membahayakan kehidupan masyarakat
luas dan mencegah terciptanya masyarakat yang sejahtera. Dalam kondisi seperti
itu pemerintah dapat melakukan intervensi agar harga barang menjadi normal
kembali.
b. Sebagian pedagang melakukan praktek
siyasah al ighraq atau banting harga (dumping). Praktek banting harga dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas
harga di pasar. Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk
memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai
dengan harga yang berlaku di pasar.
Pendapat Yahya bin Umar yang melarang penetapan harga
tersebut, menurut Dr. Rifa’at al-Aududi, sekaligus mengindikasikan bahwa
sesungguhnya Imam Yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk
kebebasan kepemilikan. Sikap Rasulullah saw yang menolak melakukan penetapan
harga juga merupakan indikasi awal bahwa dalam ekonomi Islam tidak hanya terbatas mengatur
kepemilikan khusus tetapi juga menghormati dan menjaganya.
D. RELEVANSI PEMIKIRAN YAHYA BIN UMAR
DENGAN PEREKONOMIAN MODERN
Pemikiran Yahya bin Umar yang digagasnya sekitar 12
abad yang lalu terdapat kesesuaian dengan ekonomi modern yang juga melarang
adanya praktek monopoli murni (pure monopoly) dan adanya sanksi bagi pihak yang
melanggarnya. Meskipun bahasa yang digunakan oleh Yahya bin Umar sangat
sederhana.
Monopoli murni adalah suatu keadaan di mana dalam
pasar hanya ada satu penjual sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya.
Di negara yang terkenal dengan pasar bebas dan sistem kapitalisnya seperti
Amerika Serikat, masih terdapat Undang-undang Anti Trust. Bahkan pemerintah
Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Dalam Pasal 17 ayat 1, UU No. 5 Tahun 1999 dinyatakan:
“Pelaku usaha dilarang melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.”
Pasal 47 dan 48 UU Tahun 1999 disebutkan, apabila
terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut maka pemerintah dapat
mengenakan sanksi bagi pelakunya, baik sanksi administrasi (penggagalan
perjanjian atau denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000,00 dan
setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 atau Rp 1.000.000.000,00 dan sanksi
berupa kurungan minimal 3 bulan sampai 6 bulan).
Selain itu, pemikiran ekonomi Yahya bin Umar yang
berkaitan dengan sistem ekonomi negara modern dewasa ini yakni, keterlibatan
negara dalam mengontrol pasar khususnya yang terkait dengan fluktuasi harga
barang dan regulasi pasar semakin dibutuhkan. Kebutuhan akan peran pemerintah
semakin diperlukan sebagai akibat dari meningkatnya pola-pola ketidakadilan
para pelaku pasar bebas yang berujung pada merebaknya otoritasi kontrol harga
yang terpusat pada sebagian orang.
Di samping mentalitas orang yang hanya berorientasi
meraih keuntungan sepihak, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Seperti
penimbunan barang-barang kebutuhan pokok khususnya pada saat permintaan barang
meningkat di hari-hari besar umat Islam atau tahun baru dan lain-lain. Tidak
mengherankan jika pada hari-hari besar tersebut tiba-tiba harga barang
meningkat tajam, atau stok habis dari peredaran. Bahkan kelangkaan juga tejadi
pada barang yang jelas-jelas telah mendapatkan subsidi dari pemerintah seperti
gas elpiji dalam ukuran 3 kg atau minimnya minyak tanah baru-baru ini dan
langkanya pupuk di beberapa daerah di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha Mazhab Maliki.
Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al – Kannani Al –
Andalusi ini lahir pada tahun 213 Hdab dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti
para cendikiawan muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk
menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka
sahabat Abdullah bin Wahab Al – Maliki dan Ibn Al – Qasim, seperti Ibnu Al –
Kirwan Ramh dan Abu Al – Zhahir bin Al – Sarh. Setelah itu dia pindah ke Hijaz
dan berguru, diantaranya, kepada Abu Mus’ab Az – Zuhri. Akhirnya, Yahya bin
Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada
seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al – Farisi.
Karya-karya yang telah dihasilkan oleh Yahya bin Umar yang
sangat terkenal adalah kitab al – Muntakhabah fi Ikhtisar al –
Mustakhrijah fi al – Fiqh al – Maliki dan kitab ahkam al Suq. Kitab Ahkam al – Suq yang berasal dari
benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah ini merupakan kitab pertama di dunia
Islam yang khususmembahas hisbah dan berbagai hukum pasar. Pemikiran dari Yahya bin Umar adalah aktifitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ketaqwaan seorang mislim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketaqwaan
merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan
ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, disamping Al –
Quran, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh
perintah nabi Muhammad SAW dalam melakukan setiap aktifitas ekonominya.
Sedangkan mengenai relevansi dari pemikiran Yahya bin Umar yang
digagasnya sekitar 12 abad yang lalu terdapat kesesuaian dengan ekonomi modern
yang juga melarang adanya praktek monopoli murni (pure monopoly) dan adanya
sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Meskipun bahasa yang digunakan oleh Yahya
bin Umar sangat sederhana.
0 komentar: