BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Riwayat
Bukhari Muslim Tentang Larangan Tamak Harta dan Umur
Arti hadis
Hadis Yahya bin
Yahya dan Sa’id bin Mansyur dan Qutaibah bin Sa’id mereka semua dari Abu
Awanah, Yahya berkata saya diberi kabar oleh Abu Awanah dari Qatadah dari Anas,
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak Adam akan mengalami masa tua (pikun),
kecuali dua perkara daripadanya yang membuatnya semakin muda yakni ketamakan
terhadap harta benda, dan keinginan terhadap (panjang) umur.” (HR. Bukhari
Muslim).[1]
B. Penjelasan Hadis
Hadis
ini menjelaskan tentang larangan bersikap tamak terhadap harta dan umur. Karena
sikap tamak yang berlebihan akan mengantarkan seseorang terjerumus kepada
hal-hal yang haram. Sikap tamak yang dimiliki umat manusia yakni selalu
mengharapkan harta yang lebih dari yang telah diberikan oleh Allah SWT. Padahal
ketika mereka meninggal harta kekayaan tersebut tidak akan pernah dibawa. Namun
demikian, Allah akan tetap menerima taubat mereka, apabila mereka mau bertaubat
akan ketamakannya itu. [2]
Tamak
adalah salah satu dari penyakit hati yang selalu menginginkan lebih banyak dari
apa yang telah dimiliki, tidak memperdulikan apakah cara yang ditempuh itu
merupakan sesuatu yang dibenarkan oleh syari’ah atau tidak. Dan tidak pula
berpikir apakah harus mengorbankan kehormatan orang lain atau tidak. Yang
menjadi tujuan utama di dalam dirinya yakni segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi, misalnya ketamakan harta benda dan
ketamakan akan umur yang panjang.
Sifat tamak berlawanan dengan sifat bersyukur, ikhlas,
pemurah, rendah diri dan jujur. Oleh karenanya, Islam menggalakkan umatnya
mencari harta dan kedudukan yang baik dalam masyarakat. Sekiranya usaha itu
dilakukan dengan ikhlas menepati tuntutan syariat, maka ia juga termasuk dalam
kategori ibadah. Individu yang melakukan amanah akan memperoleh kebahagiaan di
dunia dan akhirat sekaligus.
Kebahagiaan tidak bisa diukur hanya dengan harta dan
umur panjang, Walaupun keduanya bisa menjadi jalan seseorang memperoleh
kebahagiaan. Karena jika kebahagiaan ukuran standarnya adalah harta dan umur
maka dapat dipastikan segala cara akan ditempuh manusia agar memperoleh materi
yang melimpah. Banyak cara bagi seseorang untuk mencari kebahagiaan bahkan ada
yang menggunakan cara-cara
yang menyimpang. Padahal itu justru hanya akan menjadi penyebab kehancuran dan
kepunahan mereka, serta penyebab datangnya laknat Allah kepada mereka.
Sikap
tamak apabila tidak segera dibersihkan, maka penyakit sosial ini dapat
menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri maupun orang lain disekitarnya. Karena
orang yang tamak, akan membuat mata hati dan pendengarannya menjadi tuli dengan
apa yang terjadi disekelilingnya. Sebenarnya orang tamak adalah selalu rugi.
Karena sifat tidak bersyukur dan tidak puas dengan apa diperoleh, menyebabkan
hidup makin tertekan. Perasaan tidak puas atau tidak cukup dengan apa yang
dimiliki adalah satu penyakit jiwa yang boleh menyebabkan seseorang hilang
petunjuk hidup. Sesungguhnya harta itu ialah amanah Allah kepada seseorang.
Oleh karenanya harta hendaklah dicari dengan cara yang halal dan kemudian
dibelanjakan pula ke jalan kebaikan. Orang yang memiliki harta menunjukkan rasa
bersyukur dengan cara mengeluarkan zakat dan bersedekah.
Ketamakan,
bukan hanya sebatas pada harta benda dan keinginan umur panjang melainkan ada
juga orang yang tamak kepada jabatan. Orang yang tamak kepada jabatan, akan
berusaha mendapatkan apa yang menjadi keinginannya dengan segala cara. Tidak
pernah berpikir apakah cara yang ditempuh dalam memperoleh jabatan tersebut
adalah baik atau buruk. Orang yang tamak tidak akan pernah puas terhadap semua
kekayaannya.
Sebagai
bentuk implementasinya yakni apabila memiliki satu rumah maka menginginkan dua
atau tiga rumah. Setelah memiliki dua atau tiga rumah, selanjutnya ingin
memiliki empat atau lima rumah. Begitulah seterusnya. Yang akan menghentikannya
hanyalah kematian atau ia bertobat kepada Allah SWT karena sifat manusia yang
tamak itu, apabila semakin tua maka ia akan selalu menginginkan harta yang
lebih banyak dan umur yang panjang. Dalam
hal ini hadis yang memiliki makna yang serupa dengan ketamakan akan harta
adalah Sabda Rasulullah SAW:
-عنهما اللهرضى
-عَبَّاسٍ ابْنَ سَمِعْتُ قَالَ عَطَاءٍ عَنْ
« يَقُولُ -وسلم عليه
الله صلى -النَّبِىَّ سَمِعْتُ يَقُولُ
جَوْفَ يَمْلأُ وَلاَ
،ثَالِثًا لاَبْتَغَى مَالٍ مِنْ وَادِيَانِ آدَمَ لاِبْنِ كَانَ لَوْ
.» تَابَ مَنْ عَلَى اللَّهُ وَيَتُوبُ ،التُّرَابُ
إِلاَّ آدَمَ ابْنِ
Artinya: “Abdullah bin Abbas
radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jikalau anak Adam mempunyai dua lembah dari harta
pasti menginginkan yang ketiga, padahal tidaklah mengisi mulut anak Adam
melainkan tanah, dan Allah akan memberikan taubat atas orang yang bertaubat”. (HR. Bukhari)
Menurut
Uwes Al-Qarni, orang yang tamak telah buta mata hatinya dalam memandang hakikat
yang harus dicari. Seharusnya, setiap muslim menyadari bahwa sesuatu yang harus
dicarinya dengan sungguh-sungguh adalah ibadah yang telah diperintahkan oleh
Allah. Karena sesungguhnya pembagian rezeki untuk kelangsungan hidup setiap
orang di dunia sudah disediakan oleh Allah SWT.[3]
Seseorang
yang tamak akan harta dan umur maka ia akan menjadikan keduanya sebagai
keperluan utamanya. Dan apabila ia menerima kelebihan akan harta yang
diperolehnya, itu akan tetap membuatnya merasa kurang dan kurang. Padahal sebagai seorang Muslim apabila
harta yang dimilikinya berlebih, harta itu hendaknya mesti digunakan
semata-mata untuk beribadah kepada Allah bukan hanya untuk kepentingan diri
sendiri.
Dalam
hal ini Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa
yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran
dihadapan matanya dan akan menjadikan kacau segala urusannya. Sedangkan dunia
yang dicarinya tak ada yang datang menghampirinya melainkan sesuai denga apa
yang ditakdirkan oleh Allah atas dirinya , pada sore dan siang harinya dia
selalu dalam kefakiran”
( HR Tirmidzi).
Dengan
demikian tampaklah jelas bahwa seorang hamba Allah apabila menjadikan dunia
sebagai tujuan hidupnya, maka sebanyak apapun harta yang dipunyainya selalu
dirasakannya kurang. Ia
akan selalu merasa miskin dan ingin memiliki harta melebihi apa yang
dianugerahkan Allah kepada orang lain. Siang dan malam yang dipikirkannya
hanyalah harta hingga ia akan selalu mengharapkan pula umur panjang guna
memenuhi hasratnya akan harta yang banyk. Dengan begitu ia akan terus memutar
otak, membuat perencanaan, atau mengatur strategi agar usahanya sukses sehingga
kekayaannya bisa terus bertambah, bertambah, dan bertambah. Sehingga timbullah
ungkapan “waktu adalah uang” yang kemudian menjadi motto
hidupnya.
Orang
yang tamak menurut Uwes al-Qarni dapat terjadi pada seseorang sebagai dampak
dari penyakit hubbud-dunya.[4] Sangatlah
logis bila seseorang tidak mampu lagi mengendalikan dorongan duniawi yang
dicintainya. Seluruh waktunya akan dihabiskan, tenaga dan pikirannya akan
dikuras untuk semata-mata mencari harta dunia. Dalam agendanya, tidak tertulis
waktu untuk mengadukan segala keluhan batinnya kepada Allah. Tidak terbesit
dalam hatinya untuk meniatkan usahanya semata-mata demi ibadah mencari
keridhaan-Nya. Semua program hidupnya penuh dengan program-program duniawi yang
berorientasi menguntungkan, sehingga tidak sekejap pun berpaling dari ukuran
materi.
Orang
tertular penyakit tamak meskipun keadaannya berkecukupan secara lahiriyah,
sebenarnya dia selalu kekurangan. Bahkan, dapat disebut miskin. Dia tidak
pernah menemukan penyelesaian dari segala problem hidup yang diatasinya. Dia
akan senantiasa dibingungkan dan dipusingkan dengan tumpukan problema yang
tidak ada habisnya. Itu semuanya, karena ketidakpuasan nafsunya atas semua
rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
cq7ÏtéBur tA$yJø9$# ${7ãm $tJy_ ÇËÉÈ
Artinya: “Dan kamu mencintai
harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS Al-Fajr:20)[5]
Sudah banyak manusia menjadi calon penghuni neraka
karena kerakusan mereka akan harta. Kebanyakan dari kita tidak pernah menyadari
akan tiba waktunya bagi kita semua untuk mengecilkan harta dunia dan
membesarkan akherat. Padahal sesungguhnya harta dunia tidak lebih berharga dari
pada sehelai sayap nyamuk dibandingkan apa yang akan kita dapatkan di akhirat.
Orang yang tenggelam dengan nikmatnya menimbun kekayaan dunia maka sebelum ia
menyadari bahwa dunia penuh permainan dan tipu daya, atau sebelum kematian menemuinya,
ia tidak akan pernah berhenti dari kondisi tersebut, meskipun secara fisik dia
tidak mampu lagi berbuat apa-apa.[6]
Dalam
faktanya, orang tamak tidak pernah berasakan dirinya sebagai hamba-Nya.
Sebaliknya, mereka menjadi hamba kepada dunia dan bertuhankan nafsu. Mereka
mempertaruhkan seluruh usaha untuk mengejar bayang kemewahan dunia. Sebab itu,
orang tamak biasanya takut akan mati. Mereka cinta dunia dan senantiasa
mengejar kemewahan hidup.
Oleh
karena itu, sebagai seorang muslim yang berpegang tegung dengan apa yang Allah
perintahkan dan menjauhi larangan_Nya maka dalam berbisnis janganlah tamak
dengan melakukan apa saja untuk mengejar keuntungan semata atau mengejar
kekayaan semata tanpa harus mempedulikan orang-orang sekitar. Berbisnislah
dengan cara yang baik dan benar. Tidak melanggar kode etik yang ada. Dalam
berbisnis jangan hanya melihat keuntungan dan kepentingan pribadi akan tetapi
juga melihat kepada kemaslahatan bagi orang banyak.
Bukan
hanya itu, Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada kita sebagai umat manusia
untuk bersemangat mencari sesuatu yang bermanfaat untuk kepentingan dunia dan
akhirat, sehingga tidak ada kesempatan yang terlewatkan. Karena salah satu yang
akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT adalah umur untuk apa digunakan.
Oleh sebab itu, pergunakanlah kesempatan yang ada untuk berusaha, karena dunia
memang tempat berusaha, hanya saja jangan sampai terlena oleh kemewahannya dan
kemudian akhirat adalah tempat untuk memetik hasil.
a) Agar Tidak Tamak
Setiap
muslim seharusnya menjauhi sifat tamak. Jangan biarkan diri kita diperbudak
nafsu, karena nafsu terhadap dunia akan mendorong kita berbuat maksiat kepada
Allah. Tentu saja, kita tidak dilarang untuk memiliki harta. Yang penting, kita
dapat menggunakannya sebagai sarana berdakwah dan berjuang di jalan Allah.
Agar
kita tidak dikendalikan nafsu tamak terhadap dunia, maka sebaiknya kita
memiliki sifat zuhud, wara’ (hati-hati), qanaah (merasa puas atas apa yang
telah dianugerahkan Allah kepada kita), pandai mengatur waktu untuk kepentingan
dunia dan akhirat, dan pandai mensyukuri nikmat yang ada. Selain itu, kita juga
harus meluruskan seluruh niat dalam berusaha, yaitu semata-mata dalam rangka
mengabdi kepada Allah guna mendapatkan ridhaNya. Allah berfirman:
øÎ)ur c©r's? öNä3/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ ( ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9 ÇÐÈ
Artinya:
”Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)[7]
Ayat
ini menjelaskan kepada kita agar kita bersyukur dan tidak tamak dengan harta,
karena jika kita bersyukur maka Allah akan menambah rezekinya kepada kita,
sedangkan jika kita mengingkari nikmatnya maka kita akan mendapatkan azabnya.
b) Akibat Bersikap
Tamak
Ketamakan
juga bisa membawa kita pada kesengsaraan. Misalnya seseorang dalam berbisnis
ingin mendapatkan harta dengan mudah tidak mempedulikan orang-orang
disekitarnya. Dia melakukan apapun untuk kepentingan dirinya sendiri, dia
mengejar target tanpa melihat kendala-kendala yang bisa menghancurkan usahanya
dengan resiko yang besar, lebih mengutamakan usahanya mendapat untung yang
besar dan cepat maju dengan tidak mempedulikan saingannya ataupun rekan-rekan
bisnisnya.
Jika
dia berhasil dia akan mendapatkan keuntungan akan tetapi dia juga kan
mendapatkan kerugian yaitu dibenci oleh orang-orang sekitar. Jika dia rugi atau
gagal maka dia akan mendapatkan kerugian dari usahanya dan juga akan dibenci
oleh saingannya dan akan kehilangan rekan-rekannya atau mitra bisnisnya. Itulah
resiko bagi orang yang berbuat tamak, yang hanya ingin mengejar kenikmatan
dunia dan tidak mempedulikan kebaikan diakhirat kelak.
C. Fiqhal Hadis
Ketamakan harta dan keinginan
umur panjang hukumnya adalah haram. Hal ini jelas terbukti karena kecintaan
berlebih terhadap sesuatu seperti harta dan umur adalah sifat tercela, yang
mana hal ini akan menghantarkan kepada pengumpulannya dengan segala cara, tanpa
memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Ketamakan dan kerakusan
manusia terhadap harta pada akhirnya juga, akanmenjadikan manusia lebih
mendahulukan dunia yang tidak baik dan tidak kekal, meninggalkan akhirat yang
lebih baik dan lebih kekal. Adapun firman Allah SWT yang mengharamkan kerakusan
harta dunia dan mengabaikan akhirat yakni:
xx. ö@t/ tbq7ÏtéB s's#Å_$yèø9$# ÇËÉÈ tbrâxs?ur notÅzFy$# ÇËÊÈ
Artinya: “Sekali-kali
janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia.
Dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.”
Dan Rasulullah SAW bersabda:
“Cintamu
terhadap sesuatu membuat buta dan tuli.” (HR Ahmad).
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim seharusnya
menjauhi sifat hubud dunya seperti ketamakan akan harta dan
keinginan panjang umur. Hal ini bukan berarti kita dilarang untuk memiliki
harta. Akan tetapi, kita dapat menggunakannya sebagai sarana berdakwah dan
berjuang dijalan Allah. Karena ternyata kebahagiaan bukan terletak pada urusan
duniawi saja. Kebahagiaan dapat berupa amal sholeh yang akan kita peroleh
manakala kita berbuat kebajikan dengan dilandasi keimanan.
Allah SWT. menyuruh umat manusia
untuk tidak mudah dibutakan oleh harta duniawi, harta duniawi bukanlah harta
yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Harta yang paling hakiki
adalah yang terletak dalam diri sendiri yaitu kekayaan hati. Kekayaan hati yang
dimaksud adalah selalu merasa cukup atas karunia Allah yang diberikan saat ini,
selalu melakukan hal dengan landasan jalan Allah. Jalan Allah yang selalu
menuntun umatnya pada suatu hal yang bersifat kekal, itu berarti kebahagiaan
yang didapat bukan hanya di dunia tapi kekekalan di akhirat.
Kebutuhan akan dunia hendaknya
harus senantiasa di bentengi dengan kebutuhan akan akhirat. Karena bagaimanapun
juga keduanya haruslah senantiasa berjalan beriringan. Apabila salah satu dari
keduanya diabaikan, bukan saja nikmat Allah yang akan menjauh tetapi juga
laknat Allah yang akan menghampirinya. Dengan demikian, maka jelaslah
bahwasannya sebagai seorang muslim hendaknya jangan tertipu oleh kemegahan
dunia dengan menimbun harta dan tamak akan umur, melainkan juga harus
mengimbangi kebutuhan dunia tersebut dengan beribadah di jalan Allah SWT.
[4]http://www.voa-islam.com/islamia/tsaqofah/2011/01/26/12962/Percikan-Dawah-Islam-mencari-kebahagiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar