Pages

Jumat, 24 Mei 2013

HARGA YANG ADIL

HARGA YANG ADIL


PENDAHULUAN
Transaksi ekonomi pasar bekerja berdasarkan mekanisme harga. Agar transaksi memberikan keadilan bagi seluruh pelakunya maka harga juga harus mencerminkan keadilan. Dalam pandangan Islam transaksi harus dilakukan secara sukarela (antaradim minkum) dan memberikan keuntungan yang proporsional bagi para pelakunya. Konsep harga yang adil telah dikenalkan oleh Rasulullah saw, yang kemudian banyak menjadi bahasan dari para ulama di masa kemudian. Dalam situasi normal harga yang adil tercipta melalui mekanisme permintaan dan penawaran, dengan syarat mekanisme pasar dapat berjalan secara sempurna.
Tetapi, seringkali harga pasar yang tercipta dianggap tidak sesuai dengan kebijakan dan keadaan perekonomian secara keseluruhan. Dalam dunia nyata mekanisme pasar terkadang juga tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya berbagai faktor yang mendistorsinya. Untuk itu, pemerintah memiliki peran yang besar dalam melakukan pengelolaan harga. Bagian awal bab ini memaparkan konsep-konsep harga yang adil sejak masa Rasulullah saw hingga Ibnu Taimiyah. Selanjutnya sejarah pemikiran konsep harga yang adil di Barat juga dipaparkan sebagai komparasi dengan konsep Islam. Bagian selanjutnya banyak membahas berbagai bentuk dan latar belakang intervensi pemerintah dalam pengelolaan harga. Pada bagian akhir dipaparkan tentang pandangan Islam terhadap pasar persaingan tidak sempurna, monopoli dan oligopoli.

KONSEP HARGA YANG ADIL
            Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al ‘adl/justice), termasuk juga dalam penentuan harga. Terdapat beberapa terminologi dalam bahasa Arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil ini, antara lain: si’r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Istilah qimah al adl (harga yang adil) pernah digunakan oleh Rasulullah s.a.w dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, di mana budak ini akan menjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang adil atau qimah al adl (Sahih Muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalam laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yanga dil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah (denda/uang tebusan darah), setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik (Ibnu Hanbal)
             Istilah qimah al adl juga banyak digunakan oeh para hakim yang telah mengkon­difikasikan hukum Islam tentang transaksi bisnis – dalam obyek barang cacat yang dijual, pere­butan kekuasaan, memaksa penimbun barang untuk menjual barang timbunannya, mem­buang jaminan atas harta milik, dan sebagainya. Secara umum mereka berpikir bahwa harga sesuatu yang adil adalah harga yang dibayar untuk obyek yang sama yang diberikan pada waktu dan tempat diserahkan. Mereka juga sering menggunakan istilah thaman al mithl (harga yang setara/equivalen price) (Nujaim, 1980, h.362).
            Meskpun istilah-istilah di atas telah digunakan sejak masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, tetapi sarjana muslim pertama yang memberikan perhatian secara khusus adalah Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah sering menggunakan dua terminologi dalam pembahasan harga ini, yaitu ‘iwad al mithl (equivalen compensation/kompensasi yang setara) dan thaman al mithl (equivalen price/harga yang setara). Dalam al Hisbah-nya ia mengatakan: “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi keadilan (nafs al adl). Di manapun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbang­kan harga yang setara ini sebagai harga yang adil.
            Dalam Majmu fatawa-nya Ibnu Taimiyah mendefinisikan equivalen price sebagai harga baku (s’ir) di mana penduduk menjual barang-barang mereka dan secara umum diterima sebagai sesuatu yang setara dengan itu dan untuk barang yang sama pada waktu dan tempat yang khusus. Sementara dalam al Hisbah ia menjelaskan bahwa eqivalen price ini sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas – kompetitif dan tidak terdistorsi - antara penawaran dan permintaan. Ia mengatakan, “Jika penduduk menjual barangnya dengan cara yang normal (al wajh al ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tak adil, kemudian harga itu meningkat karena pengaruh kekurangan persediaan barang itu atau meningkatnya jumlah penduduk (meningkatnya permintaan), itu semua karena Allah. Dalam kasus seperti itu, memaksa penjual untuk menjual barangnya pada harga khusus merupakan paksaan yang salah (ikrah bi ghairi haq)
            Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang Islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, sebab ia adalah cerminan dari komitmen syariah Islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kedzaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualannya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya (Islahi, 1997, h.101-102).
Konsep harga yang adil yang didasarkan atas konsep equivalance price jelas lebih menunjukkan pandangan yang maju dalam teori harga dibandingkan dengan, misalnya, konsep just price. Konsep just price hanya melihat harga dari sisi produsen sebab mendasarkan pada biaya produksi saja. Konsep ini jelas kurang memberikan rasa keadilan dalam perspektif yang lebih luas, sebab konsumen juga memiliki penilaian tersendiri atas harga suatu barang. Dalam situasi normal equivalence price ini dapat dicapai melalui mekanisme pasar yang bebas. Itulah sebabnya, syariah Islam sangat menghargai harga yang terbentuk oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.


Gambar 15. 1
Permintaan dan Penawaran di Pasar
Text Box:  P




 
P*





				 

 Q






 

Islam menjunjung tinggi mekanisme pasar yang bebas

1.       Titik keseimbangan pasar akan terjadi ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaraddim minkum )
2.       Jika proses mencapai titik kese­im­bangan ini terganggu maka peme­rintah harus melakukan inter­vensi
 
 



 








A.      Harga yang Adil dalam Sejarah Pemikiran Barat
Harga yang adil ternyata juga mendapat perhatian dari banyak pemikir dunia di manapun. Namun, ternyata para sarjana muslim ternyata telah jauh mendahului para pemikir Barat dalam menganalisis harga dan mekanisme pasar. Schumpeter (1972, h. 305) menyatakan bahwa hingga sebelum pertengahan abad ke 18 tidak terdapat laporan yang jelas tentang pemikiran harga dan mekanisme pasar di Barat. Bahkan, kontribusi pemikir-pemikir yang sangat cemerlang, seperti Barbon, Petty, Locke, maupun Pufendort juga belum memberikan titik terang tentang mekanisme harga, apalagi para pemikir era Yunani kuno, misalnya Aristoteles dan Plato. Kalaupun dapat ditemukan pemikiran tentang harga pada masa-masa itu, namun pendekatan yang digunakan adalah etika dan hukum, bukan pendekatan ekonomi.
            Penulis Jerman Rudolf Kaulla menyatakan, “Konsep tentang justum pretium (harga yang adil) mula-mula dilaksanakan di Roma, dengan latar belakang pentingnya menem­patkan aturan khusus untuk memberi petunjuk dalam kasus-kasus yang dihadapi hakim, di mana dengan tatanan itu dia menetapkan nilai dari sebuah barang dagangan atau jasa. Pernyataan ini hanya menggambarkan sebagian dari bagaimana cara harga dibentuk dengan pertimbangan etika dan hukum. Pada masa itu etika merupakan bagian dari filsafat sehingga doktrin tentang harga juga bagian dari sistem filsafat itu. Dalam operasionalnya, penciptaan harga harus memanfaatkan otoritas penguasa melalui pendekatan hukum. Untuk mencapai harga yang adil maka penguasa pada akhirnya seringkali mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Harga dibentuk lebih dengan pertimbangan keadilan daripada pertimbangan ekonomi.
            Ilmuwan pada abad pertengahan yang pemikirannya tentang harga banyak menjadi pijakan pemikiran di masa berikutnya adalah St Thomas Aquinas[1]. Tanpa secara eksplisit menjelaskan definisi harga yang adil Aquinas menyatakan, “sangat berdosa mempraktekkan penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi dari harga yang adil, karena itu sama dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian. Aquinas mengutip pernyataan Cicero: “seluruh muslihat, tentu saja, tidak bisa dieliminasi dari perjanjian, hingga penjual tak bisa memaksa seseorang untuk menawar dengan harga lebih tinggi. Juga, tak bisa pembeli memaksa untuk membeli dengan harga yang lebih rendah”. Ia juga menyatakan, “harga yang adil itu akan menjadi salah satu hal yang tak hanya dimasukkan dalam perhitungan nilai barang yang dijual, juga bisa mendatangkan kerugian bagi penjual. Dan juga, suatu barang bisa dibolehkan secara hukum dijual lebih tinggi ketimbang nilainya sendiri, meskipun nilainya tak lebih dibanding harga dari pemiliknya”. Dari beberapa per­nyataan ini nampak jelas pendekatan etika dan hukum yang digunakan oleh Aquinas dalam menganalisis harga[2].
            Sebenarnya, juga terdapat ilmuwan yang telah menganalisis harga dari sisi ekonomi sebelum Aquinas, yaitu Albertus Magnus (1193-1280). Ia berpendapat, “dua barang dagangan sama dalam nilainya dan nilai tukarnya akan menjadi adil bila dalam produksinya menunjukkan persamaan biaya buruh dan pengeluaran lainnya”. Sayang, Magnus tidak memberi definisi yang rinci tentang biaya ini, kecuali hanya menekankan pada evaluasi atau conditio atau status sosial : adil, sebagai hasil kerja perorangan tergantung pada kelasnya, jadi pada nilai dari jasa-jasanya (Islahi, 1997, h. 89).
            Pendapat yang lebih jelas berasal dari pemikir Inggris, Dun Scotus (1265-1308). Menurutnya, harga itu harus meliputi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang dalam pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan kompensasinya untuk industri, buruh dan biaya yang terkandung dalam barang dagangan itu sampai ke pasar. Dalam pandangan Scotus, harga yang adil adalah salah satu faktor yang mendorong seseorang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. Ini berarti harga harus meliputi biaya dan keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pedagang itu. Sayang, ia hanya memfokuskan pada sisi pedagang –yaitu biaya- tanpa mem­­pertimbangkan dari penilaian sisi pembeli. Samuel Von Pufendort (1632-1694) seorang ilmuwan Swedia, yang menurut Schumpeter merupakan pemikir paling terkemuka dalam masalah ini. Namun, pemikirannya tentang mekanisme harga relatif tidak memadai jika dibandingkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang notabene hidup kurang lebih 300 tahun sebelumnya. Penjelasannya lebih condong berhubungan dengan teori kuantitas uang daripada teori mekanisme harga, sebagaimana dikutip oleh Schumpeter, “Membedakan nilai dalam penggunaan dan dalam per­tu­karan (pretium eminens), ia (Pufendort) menyebutkan bahwa yang terakhir ditentukan oleh kelangkaan atau keberlimpahan barang dan uang secara relatif. Harga pasar kemudian cenderung menuju pada biaya-biaya yang secara normal harus diadakan dalam produksi”. Penghargaan terhadap teori kuantitas uang sendiri sebenarnya banyak diberikan kepada ilmuwan Perancis Jean Bodin (1530-1596) atas karyanya Reply to the Paradoxes of M Maletroit (Speigel, H.W, 1971, h. 89)
            Beberapa pemikir Barat lain yang menggunakan analisis permintaan dan pena­waran dalam menjelaskan perubahan harga antara lain: John Nider (1380-1438), Navarrus (1493-1586), Luis Molina (1536-1600), dan Lessius (1554-1632). Pemikiran mereka memang tidak banyak diulas oleh Schumpeter, tetapi bisa dicermati melalui penjelasan Gordon (1979, h. 232-269) dalam bukunya Economic Analysis before Adam Smith. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
B.                 Tentang Nider
“Bahkan, dengan semakin banyaknya orang yang memiliki kebutuhan terhadap suatu komoditas dan keinginan untuk memilikinya, sementara ketersediaan komoditas tersebut lebih sedikit, maka lebih mungkin diperkirakan dan dijual (komoditas tersebut -penulis) pada harga yang lebih tinggi”
Tentang Navarous:
“Navaraus adalah seorang penentang penetapan harga yang tetap, yang menya­takan bahwa jika barang-barang berlimpah maka fiksasi tidak diperlukan dan ketika barang langka, maka sistem ini (fiksasi-penulis) akan membuat kesejahteraan masyarakat lebih berbahaya… Suatu penekanan baru adalah memperhatikan determinan-determinan penawaran dan gagasan tentang pasar harus dipertajam”
C.                 Tentang Molina
“Jika, sebagai contoh, barang-barang ditawarkan secara eceran dalam jumlah yang kecil maka penjual akan menawarkan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara borongan. Milina merupaka ilmuwan scholastik pertama yang menggunakan kata persaingan (competition).
      Tentang Lessius
“Tidak hanya variasi dalam kondisi penawaran yang mempengaruhi pembuatan harga, tetapi juga banyak faktor lain. Di antara berbagai faktor yang diang­gapnya relevan antara lain: “…. Barang itu sendiri dan kelangkaan atau keberlimpahannya, kebutuhan terhadap barang itu dan kegunaannya, penjual dan tenaga kerjanya, biaya-biaya, risiko-risiko yang diderita dalam memperoleh barang-barang itu (dalam tranportasi dan pendistribusiannya), cara pejualannya- apakah ditawarkan secara bebas atau dengan permintaan, jumlah konsumennya banyak atau sedikit, dan apakan uangnya langka atau berlimpah”.

            Harga yang adil dan berbagai cara pembentukannya tetap mendapat perhatian besar hingga kini. Para pemikir klasik banyak memberi perhatian atas harga yang adil ini. Adam Smith, yang disebut bapak ilmu ekonomi, barangkali adalah pemikir yang paling baik dalam penjelasannya tentang harga dari sisi ekonomi. Ia mengedepankan analisisnya tentang kekuatan permintaan dan penawaran dalam pembentukan harga yang alamiah (natural price). Menurutnya kekuatan tarik menarik kekuatan pasar secara bebas akan menghasilkan harga yang paling adil, baik bagi produsen maupun konsumen. Namun, sejalan dengan kritik terhadap berbagai kelemahan mekanisme pasar, tetap muncul sebuah pertanyaan besar apakah harga pasar ini benar-benar merupakan harga yang adil?
D.      
E.     INTERVENSI PEMERINTAH DALAM REGULASI HARGA
F.                  Dari penjelasan sebelumnya bisa diperoleh kesimpulan bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menjunjung tinggi mekanisme pasar yang bebas. Harga keseimbangan dalam pasar yang bebas (competetive market price) merupakan harga yang paling baik, sebab mencerminkan kerelaan antara produsen dan konsumen (memenuhi persyaratan antaraddim min kum). Meskipun demikian, terkadang harga yang keseimbangan ini tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, baik karena tingkat harga ini terlalu tinggi atau rendah, atau juga karena proses pembentukan harga tersebut tidak wajar. Dalam dunia nyata, mekanisme pasar juga seringkali tidak berjalan dengan baik. Dalam keadaan seperti ini perlukah intervensi pemerintah ke dalam pasar agar harga menuju pada posisi yang diinginkan?
G.     Secara lebih rinci Mannan (1992, h.218-219) menunjukkan 3 fungsi dasar dari regulasi harga ini, yaitu :
  1. Harus menunjukkan fungsi ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktifitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi.
  2. Harus menunjukkan fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin
  3. Harus menunjukkan fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi (misalnya kejujuran, keadilan, kemanfaatan/mutual goodwill - penulis)
H.     Konsep Islam dalam model kebijakan regulasi harga ditentukan oleh 2 hal, yaitu: (1) jenis penyebab perubahan harga tersebut, dan (2) urgensi harga terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu keadaan darurat. Secara garis besar penyebab perubahan harga dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
    • Genuine factors, yaitu faktor-faktor yang bersifat alamiah. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan intervensi pasar (market intervention) dengan mempengaruhi posisi permintaan dan atau penawaran sehingga tercipta harga yang lebih pas.
    • Non genuine factor, yaitu faktor faktor yang menyebabkan distorsi terhadap mekanisme pasar yang bebas. Kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan menghilangkan penyebab distorsi tersebut sehingga mekanisme pasar yang bebas dapat bekerja kembali, termasuk dengan cara penetapan harga (price intervention)
Jika masyarakat sangat membutuhkan suatu barang atau jasa sementara harga pasar benar-benar tidak terjangkau, maka pemerintah dapat melakukan intervensi harga. Keadaan ini benar-benar diperlukan sehingga dapat disebut darurat, karenanya harus diambil kebijakan darurat pula [3].
I.        
J.      Kebijakan Intervensi Pasar
            Yang dimaksudkan dengan genuine factors adalah faktor-faktor yang memang secara wajar, logis, dan alamiah terjadi, sehingga wajar pula jika menggeser posisi permintaan dan penawaran barang dan jasa di pasar. Pergesaran ini pada akhirnya menyebabkan tingkat harga juga berubah. Genuine factors bisa bersifat musiman (seasonal), siklus (cyclical) maupun struktural (structural).
Dinamika pada pasar hasil-hasil pertanian dapat memberikan ilustrasi tentang perubahan yang bersifat musiman. Pada saat panen raya padi penawaran beras akan meningkat (kurva penawaran bergeser ke kanan bawah). Jika diasumsikan permintaannya tetap maka tentu saja harga yang terjadi akan lebih rendah. Demikian sebaliknya, pada saat petani mulai menanam kembali atau belum panen raya maka penawaran akan berkurang (kurva penawaran bergeser ke kiri atas) sehingga harga kembali naik.
            Setiap menjelang hari-hari raya (Idul Fitri, Natal, tahun baru) tingkat harga barang-barang biasa akan menaik. Hal ini terjadi karena pada saat itu permintaan masyarakat atas barang dan jasa mengalami kenaikan sehingga tingkat harga juga naik (dengan asumsi penawarannya tetap). Kejadian ini merupakan contoh dari perubahan yang bersifat siklus, karena terjadi secara berulang dalam periode tertentu. Kurva permintaan dan penawaran juga dapat bergeser karena sebab-sebab yang bersifat struktural, misalnya terjadinya kebangkrutan perusahaan-perusahaan atau bencana alam sehingga menggangu proses penyediaan barang dan jasa. Keadaan ini akan menggeser kurva penawaran ke kiri atas sehingga tingkat harga akan naik.
            Pada dasarnya perubahan tingkat harga yang terjadi karena genuine factors tetap menghasilkan harga yang paling ekonomis. Namun, jika tingkat harga ini tidak dikehendaki oleh pemerintah –biasanya karena pertimbangan daya beli masyarakat dan tingkat kesejahteraannya – maka pemerintah dapat berupaya mengubahnya. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara intervensi pasar guna mempengaruhi posisi permintaan dan penawaran sampai menjangkau tingkat harga yang diinginkan. Dalam istilah kontemporer di Indonesia langkah ini juga disebut operasi pasar.
            Pada masa Rasulullah saw dan masa kekhalifahan Umar bin Khatab r.a. kota Medinah pernah mengalami kenaikan tingkat harga barang-barang (misalnya gandum) karena genuine factors ini. Beliau kemudian melakukan import besar-besaran sejumlah barang (gandum) dari Mesir, sehingga penawaran barang-barang di Medinah kembali melimpah dan tingkat harga mengalami penurunan. Namun demikian, pada masa khalifah Umar bin Khatab langkah ini ternyata tidak memadai. Tingkat daya beli masyarakat Medinah saat itu sedemikian rendah sehingga harga baru inipun tetap tidak terjangkau. Khalifah Umar kemudian mengeluarkan sejenis kupon (yang dapat ditukarkan dengan sejumlah barang tertentu) yang dibagikan kepada para fakir miskin (Yaqub, 1983)
Intervensi pasar ini juga dapat dilakukan manakala pemerintah menemukan bukti bahwa para pedagang banyak menahan barang-barangnya. Bahkan, demi kemaslahatan bersama, pemerintah dapat memaksa pedagang-pedagang ini untuk menjual barang-barangnya sehingga pasar akan kembali beroperasi dengan bebas (Jalaluddin, 1991). Pemerintah dapat menggunakan dana negara (dari Baitul Maal) untuk membiayai intervensi pasar ini. Namun, jika dana Baitul Maal tidak memadai maka pemerintah dapat meminta bantuan pendanaan dari masyarakat golongan kaya (Hazm, Ibn, 1947)[4].
Intervensi pasar juga tidak selalu diartinya hanya mempengaruhi permintaan dan penawaran saja, tetapi hal-hal yang dapat memperlancar penawaran dan permintaan. Ibnu Khaldun telah berkata, “Ketika barang-barang yang tersedia sedikit maka harga-harga akan naik. Tetapi, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang-barang akan melimpah dan harga-harga akan turun”. Terganggunya transportasi akan menghambat pasokan barang dan jasa di pasar sehingga mengurangi penawaran. Pemerintah harus memperbaiki hambatan transportasi ini agar lancar kembali sehingga penawaran barang di pasar akan bertambah kembali.
Gambar 15. 2
Mekanisme Intervensi Pasar
 























Intervensi /Penetapan Harga dalam Situasi Normal
Sebagaimana telah disebutkan, Rasulullah sangat menentang kebijakan intervensi atau penetapan harga jika penyebab perubahan harga adalah faktor alamiah. Secara umum jumhur ulama juga sepakat bahwa penetapan harga adalah kebijakan yang tidak dianjurkan oleh ajaran Islam jika pasar dalam situasi normal. Satu dari empat mazhab terkenal, yaitu Hanbali, menolak keras kebijakan penetapan harga ini Ibnu Qudamah Al Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab ini, mengatakan, “Imam (pemimpin pemerintahan) tak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual barang-barang mereka dengan berapapun harga yang mereka sukai”.
Ibnu Qudamah (1374 H, h 44) mengajukan 2 argumentasi mengenai hal ini, yaitu: Pertama, Rasulullah tidak pernah menetapkan harga walaupun penduduk menginginkannya (sebagaimana hadist di atas). Jika penetapan harga ini dibolehkan niscaya Rasulullah s.a.w akan melaksanakannya; Kedua, menetapkan harga adalah ketidakadilan (zulm) yang dilarang. Setiap orang memiliki hak untuk menjual dengan harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya. Selanjutnya ia memberikan analisisnya yang sangat cocok dengan pemikiran para ekonom Barat modern. Ia mengatakan: “Ini sangat nyata bahwa penetapan harga akan mendorongnya menjadi lebih mahal. Sebab jika para pedagang dari luar mendengar adanya kebijakan penetapan harga ini maka mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke daerah tersebut, di mana ia akan dipaksa menjual dengan harga di luar yang dia inginkan. Dan para pedagang lokal –yang memiliki dagangan- akan menyembunyikan barangnya. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang-barang dagangan dan membuatkan permintaan mereka tak dapat dipuaskan, karenanya harganya meningkat. Harganya akan meningkat dan keduanya menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tak dapat dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal ini dilarang”.
Kebijakan penetapan harga dapat menimbulkan banyak distorsi dalam pereko­nomian jika alasannya tidak tepat. Secara umum distorsi yang ditimbulkan karena peneta­pan harga yang tidak tepat adalah:
·         Terjadi senjang (gap) antara permintaan dan penawaran
·         Senjang tersebut akan menimbulkan kelebihan permintaan (excess demand) atau kelebihan penawaran (excess supply).
·         Akibat selanjutnya akan muncul pasar-pasar gelap (black market) yang memperdagangkan barang dan jasa pada harga pasar.
·         Pembentukkan black market ini seringkali disertai dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Dari sisi mikroekonomi, penetapan harga ini juga dapat merugikan produsen, konsumen, dan perekonomian secara keseluruhan. Surplus yang dinikmati oleh konsumen dan produsen akan saling bertambah dan berkurang. Sebagian berkurangnya surplus konsumen akan berpindah kepada produsen, atau sebaliknya. Tetapi ada sebagian lain yang tidak saling berpindah melainkan benar-benar hilang (deadweight loss) karena inefisiensi kebijakan ini. Dan akhirnya, secara keseluruhan perekonomian akan menikmati surplus yang lebih kecil dibandingkan dengan pada sistem pasar bebas.
Jenis kebijakan intervensi harga yang dikenal lazim diterapkan dalam perekono­mian konvensional antara lain:
·         Penetapan Harga di atas Harga Pasar
Kebijakan ini menetapkan harga pada suatu tingkat di atas harga pasar. Hal ini dilakukan biasanya untuk melindungi produsen dari harga yang terlalu rendah sehingga tidak memperoleh marjin keuntungan yang memadai (bahkan merugi). Harga yang terjadi atas kekuatan pasar dipandang tidak menguntungkan produsen, sehingga harus dinaikkan oleh pemerintah. Salah satu contoh yang populer adalah kebijakan floor price (harga dasar) di mana pemerintah menetapkan tingkat harga terendah dari suatu barang, sementara harga ini di atas harga pasar. Contoh dari kebijakan ini adalah kebijakan harga dasar gabah yang telah lama dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga beras. Pada saat panen raya padi maka penawaran beras di pasar mengalami kenaikan, sehingga secara alamiah harga akan turun.
Penetapan harga dasar gabah ini akan menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Penetapan harga di atas harga pasar akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran. Kelebihan ini kemungkinan besar tidak akan diserap oleh konsumen, sebab harganya terlalu tinggi. Para konsumen akhirnya akan mencari beras di pasar-pasar gelap yang menjual pada harga pasar. Importir-importir gelap akan berlomba-lomba mendatangkan beras dari tempat lain yang bisa memberikan harga pasar. Dalam kenyataan, pembentukan pasar gelap selalu disertai dengan munculnya kolusi, korupsi dan nepotisme antara pihak-pihak yang terkait. Akibatnya, beras-beras di pasar resmi tidak akan laku. Dalam kondisi seperti ini biasanya dengan terpaksa para produsen juga akan menjual berasnya pada harga pasar (daripada tidak laku).

·         Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar
Mekanisme kebijakan ini merupakan kebalikan dari kebijakan sebelumnya, di mana pemerintah menetapkan harga lebih rendah daripada harga pasar. Alasan yang umum dalam mengambil kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi. Pengaruh penetapan harga ini juga tidak jauh berbeda, yaitu menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Karena harga terlalu rendah maka akan terjadi kelebihan permintaan, sebab konsumen membeli dengan harga lebih murah dari yang seharusnya. Tetapi bagi produsen harga ini jelas tidak menguntungkan sehingga kemungkinan akan enggan untuk melepaskan barang-barangnya ke pasar. Para produsen akan cenderung menjual barangnya ke pasar lain (black market) yang bisa memberinya harga yang lebih tinggi. Sebagaimana dalam penetapan harga di atas harga pasar, kemunculan pasar gelap ini selalu diikuti dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Sejalan dengan pemikiran ini, al Baji (1911) – seorang ahli fiqh mazhab Maliki – berpendapat bahwa penetapan harga yang tidak memberikan marjin keuntungan yang wajar bagi penjual akan menimbulkan ketidakteraturan harga (fasad al as ‘ar), kemandegan penyediaan barang, dan akhirnya kerugian finansial kepaa masyarakat (Awqaf, 1987).        
Salah satu kebijakan yang populer dengan mekanisme ini adalah kebijakan harga tertinggi (ceiling price). Dalam kebijakan ini pemerintah memberikan batasan tertinggi harga dari suatu barang. Tentu saja harga yang ditetapkan berada di bawah harga pasar yang seharusnya, sebab tujuan dari kebijakan ini memang melindungi konsumen dari kenaikan harga pasar.
Banyak contoh kebijakan seperti ini di Indonesia, misalnya harga bahan bakar minyak (BBM). Selama ini harga BBM ditetapkan oleh pemerintah, semen­tara tingkat harga ini biasanya di bawah harga pasar internasional. Kemunculan black market BBM akhirnya tak bisa dihindarkan. Penyelundupan BBM untuk dijual di luar negeri (terutama Singapura, Malaysia) banyak terjadi, sebab harga BBM di luar negeri lebih memberikan keuntungan bagi penjual BBM. Dampak lain yang muncul adalah konsumsi BBM yang meningkat, sebab konsumen membayar jauh lebih murah dibandingkan utilitas yang dinikmatinya.

Gambar 15. 3
Kebijakan Penetapan Harga
 




























K.      Intervensi / Penetapan Harga yang Islami
Jika jumhur ulama telah sepakat bahwa Islam menjunjung tinggi mekanisme pasar bebas, maka mereka juga bersepakat bahwa hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja pemerintah dapat melakukan kebijakan penetapan harga. Prinsip dari kebijakan ini adalah mengupayakan harga agar kembali kepada harga yang adil, harga yang normal/wajar, atau harga pasar. Pemikir-pemikir besar seperti Ibnu Taimiyah, Al Ghazali, Ibnu Qudamah memiliki pandangan yang sejalan dalam hal intervensi pasar ini, sementara Ibnu Khaldun tidak mengajurkan dengan tegas meskipun sangat menekankan pentingnya mekanisme pasar yang bebas.
Penetapan harga ini dapat dilakukan jika: (1) faktor-faktor yang menyebabkan perubahan harga adalah distorsi terhadap genuine factors, dan (2) terdapat urgensi masyarakat terhadap penetapan harga, yaitu keadaan darurat. Beberapa penyebab yang lazim menimbulkan distorsi ini antara lain :
·         Adanya penimbunan (ikhtikar) oleh segelintir penjual
·         Adanya persaingan yang tidak sehat, menggunakan cara-cara yang tidak fair, antar penjual sehingga harga yang tercipta bukan harga pasar yang sebenarnya.
·         Adanya keinginan yang amat jauh berbeda antara penjual dan pembeli, misalnya penjual ingin menjual dengan harga yang terlalu tinggi sementara pembeli ingin membeli dengan terlalu rendah.
Kadangkala ada penjual yang sengaja menimbun dan menahan barangnya pada suatu waktu dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi di waktu mendatang. Di sini penimbunan memang dilakukan untuk mempermainkan harga sesuai dengan kepentingan penimbun. Inilah yang disebut ikhtikar yang tidak saja dilarang oleh ajaran Islam karena merugikan masyarakat banyak, tetapi juga dikategorikan perbuatan dosa[5] Dengan adanya penimbunan ini berarti jumlah barang yang ditawarkan di pasar akan berkurang secara semu, sebab sesungguhnya hanya berpindah ke gudang penimbunan penjual.
Adanya ikhtikar ini tentu saja merugikan konsumen sebab mereka harus membeli dengan harga yang lebih tinggi yang merupakan monopolistic rent. Agar harga kembali pada posisi harga pasar maka pemerintah dapat melakukan berbagai upaya menghilangkan penimbunan ini (misalnya dengan penegakan hukum), bahkan juga dengan intervensi harga. Dengan harga yang ditentukan ini maka para penimbun dapat dipaksa (terpaksa) menurunkan harganya dan melempar barangnya ke pasar.





Gambar 15. 4
Ikhtikar mendistorsi harga pasar

q  Akibat ikhtikar yang dilakukan penjual maka kurva penawaran SS bergeser menjadi S’S’, dengan tingkat harga berubah dari Pp menjadi Pi
q  Pemerintah dapat menetapkan harga dengan mengacu kepada harga pasar yang wajar
q  Penetapan harga yang wajar ini akan memaksa penjual untuk menjual kembali barang-barang yang ditimbunnya, sehingga kurva penaran S’S’ kembali menuju SS
 



P

                                                S’

                D
                                                         S
Pi

Pp

       S’
         S           D

                                                           Q

 









Persaingan dalam pasar seringkali berjalan tidak sehat, tidak fair, sehingga harga yang terjadipun tidak mencerminkan competition market price. Beberapa praktek hal ini antara lain:
1.      Demi meraih keuntungan yang tinggi seringkali penjual melakukan berbagai cara untuk bisa menjual pada harga yang tinggi. Manipulasi terhadap informasi yang benar seringkali dilakukan oleh produsen, sehingga ekspektasi konsumen terhadap barang yang dibelinya menjadi salah. Inilah yang disebut tadlis, yaitu penipuan. Para pembeli dalam kasus ini sesungguhnya terpaksa harus membayar dengan harga yang lebih tinggi dari yang sewajarnya. Tadlis dapat terjadi dalam hal kualitas (barang bermutu rendah dikatakan bermutu tinggi), kuantitas (ukuran atau takaran yang tidak tepat) atau harga (barang murah dijual dengan mahal).
2.      Harga yang tinggi ini dapat diambil antara lain karena memanfaatkan ketidaktahuan/kebodohan konsumen terhadap barang yang dijual (ghaban faa hisy). Kebodohan konsumen sengaja dimanfaatkan untuk menaikkan harga sehingga harga yang terjadi tentu tidak akan mencerminkan keuntungan riil keduanya.
3.      Cara lain adalah dengan melakukan kolusi antara penjual dan sekelompok pembeli tertentu (yang sebenarnya kolega penjual) untuk menipu harga pasar. Misalnya konsumen tertentu ini membeli dengan harga tinggi sehingga konsumen lainnya terpaksa juga membeli dengan harga tinggi pula[6].
4.      Sementara untuk memenangkan persaingan dengan pelaku lain juga terdapat penjual yang menawarkan barangnya dengan harga di bawah pasar .Dalam pasar yang kompetetif, sebagaimana kondisi pasar pada masyarakat Islam klasik, menjual di bawah harga pasar merupakan predatory market. Dengan menjual di bawah harga pasar, meskipun harus merugi, para penjual ini berharap pesaingnya akan keluar dari pasar, dan setelah itu mereka bisa kembali menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan di atas normal profit. Dalam situasi seperti ini para penjual yang memiliki modal besar kemungkinan mampu bertahan, tetapi yang bermodal kecil terpaksa keluar dari pasar[7].
Dalam kenyataan seringkali juga terjadi penjual menawarkan dagangan dengan harga yang terlalu tinggi, sementara konsumen menginginkan terlalu rendah. Jika proses tawar-menawar di antara keduanya tidak dapat terjadi, maka dapat dipastikan mekanisme pasar akan terganggu[8]. Untuk itu pemerintah harus juga menetapkan harga yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, yaitu harga yang lazim (customary price).
Jumhur ulama juga sepakat bahwa kondisi darurat (emergency) dapat menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan intervensi harga, tetapi tetap berpijak kepada keadilan. Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adalah
·         Harga naik sedemikian tinggi di luar kewajaran sehingga tidak terjangkau masyarakat[9]
·         Menyangkut barang-barang yang amat dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bahan pangan, dan
·         Terjadi ketidakadilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam transaksi tersebut.
Imam Hanafi menyatakan bahwa pada prinsipnya intervensi harga dilarang, tetapi bisa diterapkan jika para penjual menaikkan harga secara berlebihan dan para qadi (hakim) tidak dapat melindungi masyarakat terhadap bahaya ini. Pendapat ini sejalan dengan Imam Malik yang menyatakan bahwa penetapan harga dapat dilakukan hanya jika terdapat kenai­kan harga yang berlebihan dalam barang-barang kebutuhan pokok. Imam Syafi’i bahkan memposisikan intervensi harga ini sebagai kebijakan pemerintah yang sifatnya wajib jika kenaikan harga berlebihan ini terjadi atau orang-orang miskin benar-benar membutuhkan bahan pangan. Pemikir yang membahas hal ini dengan lebih spesifik antara lain Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah dan Ibnu al Qoyyim al Jauziyah yang pendapatnya disajikan secara khusus.
Kebanyakan pemikir kontemporer juga menyetujui pendapat pemikir-pemikir dahu­lu, tetapi menambahkan atau mengelaborasinya ke dalam konteks modern. Al Darini dan An Nabhan (Rahman,1995), misalnya, sangat mendukung kebijakan intervensi harga ini dalam situasi-situasi tertentu. Menurut al Darini, kenaikan harga yang arbriter atau juga ketika para penjual demikian menguasai hukum dan pasar sehingga merugikan keadilan dan kepentingan masyarakat dapat menjadi alasan untuk intervensi harga. Karena mene­gakkan keadilan merupakan kewajiban syariah, maka intervensi harga yang bertujuan untuk menegakkan keadilan juga menjadi kewajiban. Logika didasarkan pada kaidah usul fikih” maa laa yatimmu al wajib illa bihi fa huwa wajib” yang artinya segala sesuatu untuk pemenuhan suatu kewajiban juga menjadi kewajiban. Dalam membahas pendapat al Darini ini Al Nahban menambahkan, “Ketika para pedagang menjadi pemeras (exploiter) dan pendongkrak harga (jashi’in, mustaghillin) dan kepentingan (maslahah) masyarakat membutuhkan penerapan suatu kebijakan penetapan harga, dan hal ini menjadi kewajiban. Pemikir lain, Martan (Rahman, 1995), berpendapat bahwa kebijakan intervensi harga secara umum dapat dikenakan jika terdapat hal-hal yang menyebabkan kejahatan (sadd al dharai’i), dalam konteks intervensi harga ini dikenakan pada barang-barang yang mubah dan berpo­tensi menimbulkan kejahatan ini. Tetapi, jika harga ditetapkan dalam situasi yang normal maka kenaikan harga dan distorsi harga justru akan merugikan masyarakat. Kebebasan pembeli dan penjual akan terhambat oleh harga yang ditetapkan tersebut.

Intervensi Harga menurut Ibnu Qudamah
Sebagaimana dalam pembahasan di muka, Ibnu Qudamah (1374) sangat menentang kebijakan inetervensi harga. Namun, dalam situasi-situasi tertentu ia bahkan mewajibkan pemerintah mengeluarkan kebijakan intervensi harga. Situasi-situasi itu, yaitu:
·         Menyangkut kepentingan masyarakat dalam arti luas, yaitu melindungi penjual dalam hal keuntungan (profit margin) dan konsumen dalam hal daya beli (purchasing power). Dalam pandangan Islam penjual berhak menda­patkan keuntungan yang wajar, sementara pembeli berhak membeli dengan harga yang setara dengan manfaat yang diperolehnya.
·         Bila tidak dilakukan price intervention maka diperkirakan pejual akan menaikkan harga dengan cara ikhtikar atau ghaban faahisy. Dalam hal ini berarti penjual merugikan (menzalimi) konsumen, sebab konsumen harus membeli di atas harga pasar.
·         Pembeli biasanya merupakan kelompok masyarakat yang lebih luas dibanding­kan dengan penjual, sehingga price intervention berarti pula melindungi kepentingan masyarakat.
·         Alasan Ibnu Qudamah yang terakhir, yaitu untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas sebagaimana juga dianjurkan oleh Al Ghazali (Jalaluddin, 1991).


Intervensi Harga menurut Ibnu Taimiyah
Sebagaimana Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah juga sangat menjunjung tinggi mekanisme pasar yang bebas, dan karenanya menentang kebijakan intervensi harga. Namun, ia memahami bahwa dalam situasi-situasi tertentu intervensi ini justru wajib dilakukan, sebab Rasulullah juga pernah melakukannya. Sebagaimana dikutip Islahi (1988), Taimiyah membuktikan bahwa Rasulullah s.a.w sendiri pernah menetapkan harga yang adil jika terjadi perselisihan antara dua orang. Yang ia maksudkan di sini ialah : Pertama, Rasulullah s.a.w dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan menjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang adil atau qimah al adl. Kedua, ketika terjadi perselisihan antara dua orang, yaitu satu pihak memiliki pohon yang sebagiannya tumbuh di tanah orang lain. Pemilik tanah menemukan adanya jejak langkah pemilik pohon di atas tanahnya yang dirasakan mengganggunya. Lalu ia mengajukan masalah ini kepada Rasulullah s.a.w sehingga beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohonnya itu kepada pemilik tanah dan menerima ganti rugi yang adil. Tetapi, orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan kompensasi harganya kepada pemilik pohon. Lebih lanjut Taimiyah mengatakan, “Jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal ini ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan publik itu jauh lebih penting daripada kebutuhan seorang individu”.
Kebijakan intervensi harga ini terbagi dalam dua jenis, yaitu
q  Intervensi harga yang zalim dan tidak sah
Intervensi harga dipandang sebagai zalim (tidak adil) apabila kebijakan ini menyebabkan kerugian atau penindasan kepada para pelaku pasar. Jika harga ditetapkan di atas harga pasar maka tentu akan merugikan konsumen, sementara jika ditetapkan di bawah harga pasar tentu akan merugikan produsen.

q  Intervensi harga yang adil dan sah
Intervensi harga dipandang adil jika kebijakan ini tidak menimbulkan kerugian atu penindasan kepada para pelaku pasar. Untuk itu intervensi harga yang adil justru akan membawa tingkat harga kepada posisi harga pasar yang seharusnya atau harga yang wajar. Dalam posisi ini baik penjual maupun pembeli tidak dirugikan.
Ibnu Taimiyah menjelaskan beberapa keadaan khusus di mana intervensi harga dapat dilakukan, yaitu:
·         Pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan barang-barang, seperti saat terjadi bencana kelaparan atau peperangan. Untuk melindungi masyarakat dari kelaparan atau perlindungan keamanan saat perang maka pemerintah dapat memaksakan tingkat harga. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Inilah saatnya pemegang otoritas (pemerintah) untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya ketika ia memiliki kelebihan bahan pangan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu akan dipaksa menjualnya pada tingkat harga yang adil”
·         Para penjual (arba al sila’) tidak mau menjual barangnya kecuali pada harga yang lebih tinggi daripada pada saat harga normal (al qimah al ma’rufah), padahal konsumen sangat membutuhkannya. Dalam kondisi ini, demi melin­dungi masyarakat yang lebih luas, pemerintah dapat memaksa penjual untuk menjual barangnya dan menentukan harga yang lebih adil[10]. Kondisi ini, antara lain, dapat terjadi karena adanya penimbunan (ikhtikar) atau monopoli. Menurutnya, para pemengang monopoli tak boleh dibiarkan melaksanakan kekuasannya sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk.
·         Terjadi diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya. Ia mengatakan, “Seorang pejual tidak dibolehkan menetapkan harga di atas biasanya, harga yang tidak umum di masyarakat, dari individu yang tidak sadar (mustarsil), tetapi harus menjualnya pada tingkat yang umum (al qimah al mu’tadah) atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membeli pada harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya… Seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan dari haknya memasuki pasar tersebut“
·         Para penjual menawarkan harga yang terlalu tinggi, sementara para pembelinya menginginkan terlalu rendah. Jika hal ini dibiarkan terus maka kemungkinan terjadi kemandegan dalam pasar. Yang menarik, ia juga menganlisis dampak terjadinya monopsoni. Ia menggambarkan situasi monopsoni ini ketika para pembeli membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada tingkat yang sedemikian rendah. Dalam situasi monopsoni yang seperti ini jelas pembeli memiliki potensi untuk mendzalimi penjual.
·         Para penjual melakukan kolusi, baik dengan sesama penjual ataupun dengan kelompok atau seorang pembeli terntentu dengan tujuan untuk mempermainkan harga pasar (Kamali, 1994, h. 30).
·         Pemilik jasa, misalnya tenaga kerja, menolak bekerja kecuali pada upah yang lebih tinggi dibandingkan tingkat upah yang berlaku di pasar (the prevailing market wage), padahal masyarakat sangat membutuhkan jasa tersebut. Ia mengatakan,” Jika penduduk membutuhkan pekerja tangan yang ahli dan pengukir dan mereka menolak tawaran mereka, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidak sempurnaan pasar, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Dan tujuan dari penetapan harga ini adalah untuk melindungi pemberi kerja (employer) dan penerima kerja (employee) dari saling mengeksploitasi satu sama lainnya “ (Al Hisbah, h. 27-30). Untuk itu pemerintah dapat menetapkan tingkat upah yang wajar dan memaksa pemilik jasa untuk mematuhinya. Kasus ini tentunya juga berlaku bagi berbagai pasar jasa.

Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada prinsipnya kebijakan intervensi harga ini bertujuan untuk:
Pertama, menghilangkan berbagai masalah yang menimbulkan distorsi pasar, sehingga harga dapat kembali atau setidaknya mendekati tingkatan dalam mekanisme pasar yang kompetitif. Jadi, kebijakan intervensi harga dilakukan justru untuk mengembalikan peranan pasar, bukan sebaliknya. Harga yang dihasilkan oleh mekanisme pasar yang bebas tetap merupakan harga ekonomi yang terbaik.
Kedua, melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kepentingan masyarakat luas harus lebih diutamakan daripada kepentingan yang lebih kecil, misalnya kepen­tingan maksimasi keuntungan oleh para produsen. Mengenai hal ini menarik diungkap kembali pernyataan Ibnu Taimiyah, “Jika penduduk menginginkan kepuasan maka para pen­jual harus menghasilkan barang dalam jumlah yang cukup untuk kepentingan umum dan menawarkan barang mereka pada harga yang baik/normal (at thaman al ma’ruf). Dalam keadaan seperti itu intervensi harga tidak diperlukan. Tetapi, jika seluruh keinginan penduduk tak bisa dipuasi tanpa memaksakan harga yang adil (al tas’ir al ‘adl) karenanya harga harus diatur seadil-adilnya, tanpa akibat yang merugikan bagi setiap orang (la wakasa wa la shatata).

Gambar 15. 5
Intervensi Harga menurut Ibnu Taimiyah
 












Musyawarah Dalam Perumusan Harga

Pada dasarnya kebijakan intervensi harga melalui penetapan memiliki peluang untuk menimbulkan kerugian bagi pelaku ekonomi maupun bagi perekonomian keselu­ruhan. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, jika harga lebih tinggi dari harga pasar maka penjual akan diuntungkan sementara pembeli dirugikan. Sebaliknya, jika harga di bawah harga pasar maka penjual akan dirugikan sementara pembeli diuntungkan. Selain itu, sesungguhnya intervensi harga ini telah merampas hak-hak pribadi penjual dan pembeli dalam berniaga, sebab harga yang telah ditetapkan akan bersifat memaksa.
Dengan kata lain, dengan dalih apapun pemerintah tidak boleh menetapkan harga secara sepihak. Ibnu Qoyyim al Jauziah (Kamali, 1994, h. 32) menyatakan bahwa tidak ada pemikir Islam satupun yang mendukung kediktatoran harga (price dictatorship), yaitu menyuruh para produsen dan pengecer untuk menjual pada harga yang ditetapkan dengan mengabaikan keuntungan /kerugian dan tanpa mempertimbangkan harga dan pengeluaran apabila mereka masuk ke pasar.          
Agar harga yang ditetapkan dapat menguntungkan semua pihak, yaitu menghasilkan harga yang adil, maka harus dipertimbangankan segala kondisi pasar. Untuk maka para ahli fiqih telah menyarankan perlunya dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Musyawarah ini harus melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harga ini, yaitu penjual, pembeli, pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Ibnu Taimiyah telah menyampaikan gagasan ini dengan mengutip pemikiran pendahulunya, Ibnu Habib, sebagai berikut: “Imam (kepala pemerintahan) harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al suq). Yang lain-lain juga diterima hadir dalam musyawarah itu, karenanya mereka harus ikut diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu. Harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan ijin mereka”.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengutip Abul Walid yang menyatakan, “Logika di balik ketentuan ini adalah untuk mencari - dengan cara itu - kepentingan dari banyak pen­jual dan para pembeli dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan kepuasan dari orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tak mengecewakan dari pen­du­duk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan (dari penjual) dan membuat mereka tak memperoleh keuntungan, penetapan harga seperti itu berarti korup (jahat), mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-barang penduduk menjadi hancur”.
           
Sasaran Kebijakan Intervensi Harga
Apakah kebijakan intervensi harga ini dapat diterapkan pada semua jenis barang dan jasa dan pada semua pelaku pasar?
·         Jenis barang
Para pemikir klasik telah menyebutkan beberapa jenis komoditas yang bisa dikenakan kebijakan intervensi harga, sesuai dengan konteks pada waktu itu. Kamali (1994, h.32-33) telah mengidentifikasi pendapat para pemikir keempat mazhab utama bahwa beberapa pemikir mazhab Hanafi menyebutkan komoditas ini mencakup bahan-bahan pangan dan makanan hewan. Para pemikir mazhab Syafi’i (misalnya Abu Yusuf dan Ibn Abidin) dan Hanbali (Ibnu Taimiyah, Ibn Qoyyim, al Awqaf) kebanyakan berpendapat bahwa intervensi harga dapat diterapkan pada semua barang atau jasa yang rentan terhadap gagasan harga yang adil, misalnya fungible goods dan barang-barang yang dijual dengan dasar berat atau pengukuran.
Para pemikir dari mazhab Maliki memiliki dua pandangan. Pendapat pertama mengatakan bahwa intervensi harga dapat diterapkan pada semua fungible goods. Non fungible goods dikecualikan karena tidak terdapat kesetaraan yang subtantif (subtantive equivalence/ tamathul) sehingga tidak dapat diterima dengan harga yang ditetapkan. Dengan lebih jelas Ibnu Hajjib al Maliki menyatakan bahwa intervensi harga tidak dapat diterapkan jika tidak ada kesetaraan yang pasti. Al Baji juga menyatakan hal senada, yaitu fungible good ini harus memiliki kualitas yang sama atau hampir sama, sehingga barang yang kualitasnya lebih baik tidak bisa dikenakan dengan harga yang sama dengan yang kualitasnya lebih rendah. Pendapat kedua menyatakan bahwa barang yang dapat dikenakan intervensi harga ini hanyalah bahan pangan.
Dengan mencermati pendapat-pendapat di atas nampak bahwa adanya kerentanan suatu barang terhadap harga pasar merupakan syarat yang paling penting bagi barang yang dikenakan kebijakan intervensi harga ini. Syarat ini penting, sebab barang-barang ini memiliki ukuran kualitas dan kuantitas yang jelas sehingga harga dapat ditentukan secara adil. Barang-barang yang tidak terukur kuatitas dan kualitas­nya tentu saja akan sulit ditentukan harganya. Selain itu, barang-barang ini meru­pakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga termasuk dalam kebutuhan primer. Tentu saja jenis dari barang ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi suatu masyarakat, karenanya akan berbeda satu dengan lainnya. Tetapi, bahan pangan merupakan kebutuhan primer manusia di manapun berada sehingga dapat menjadi obyek kebijakan ini.

·         Pelaku Pasar
Secara umum kebijakan intervensi harga dapat dikenakan pada semua pelaku pasar, khususnya penjual dan pembeli. Tetapi, beberapa pelaku pasar dapat dikecualikan dari kebijakan ini, misalnya importir (jallabun). Pada umumnya para fuqaha berpendapat bahwa importir tidak dapat dikenakan kebijakan ini, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Argumentasinya sangat jelas, yaitu karena para importir mendatangkan barang-barangnya dari tempat lain (luar negeri) yang kemungkinan tidak mengenakan kebijakan sejenis. Jika mereka harus dipaksakan untuk menjual kembali pada harga yang ditetapkan, maka hal ini dapat berakibat :
(1)      Bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kebebasan dalam berniaga, padahal hal ini sangat dihargai oleh ajaran Islam.
(2)      Jika harga yang ditetapkan tidak mendekati atau sama dengan harga pasar atau harga yang adil, maka kemungkinan para importir ini menjadi enggan untuk memasuki negara yang memiliki kebijakan penetapan harga ini. Mereka akan mengalihkan penjualannya pada negara yang memberikan harga lebih baik, dan akibatnya negara tersebut justru akan mengalami kelangkaan barang yang dibutuhkan.
Mengutip Kamali (1994, h. 33-34), kebanyakan fuqaha dan Imam-imam Syi’ah berpendapat bahwa seorang importir hanya dapat dikenakan kebijakan intervensi harga hanya dalam kasus-kasus darurat saja, yaitu jika ada kekhawatiran terjadi bencana besar atau kelaparan. Dalam keadaan ini para importir dapat ditekan untuk menjual barang-barangnya pada harga yang ditetapkan, tetapi harga ini haruslah harga yang adil. Tetapi, beberapa pemikir seperti Abdullah ibn Umar, al Qasim ibn Muhammad dan Salim ibn Abdullah menyatakan bahwa para importir tidak dapat dikenakan kebijakan ini. Beberapa pemikir lain, sebagaimana dikutip oleh Maliki ibn Hajib dan al Baji, menyatakan bahwa para agen barang-barang selain gandum dan kurma dapat dikenakan kebijakan ini.

 

PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA, OLIGOPOLI DAN MONOPOLI

Sebagaimana telah dipelajari pada bagian sebelumnya, ajaran Islam mendorong adanya suatu pasar yang memiliki karakter sebagaimana pasar persaingan sempurna, tetapi berlandaskan kepada nilai-nilai Islam. Karakter pasar yang benar-benar bersaing secara sempurna sangat sulit dijumpai dalam dunia nyata, meskipun bukannya tidak ada. Dalam dunia nyata banyak pasar dalam suatu industri yang dapat dikategorikan sebagai pasar persaingan tidak sempurna, yaitu persaingan monopolistis, oligopoli maupun monopoli Secara normatif ajaran Islam ini harus dipahami sebagai upaya untuk menciptakan pasar yang, setidaknya, mendekati kepada persaingan yang sempurna.
Suatu pasar dapat dikategorikan sebagai persaingan sempurna, persaingan tidak sempurna persaingan tidak sempurna monopoli terutama dilihat dari seberapa banyak produsen yang ikut berperan serta dalam pasar tersebut. Pasar persaingan sempurna dan monopoli adalah dua kutub ekstrim, di mana yang pertama memiliki jumlah produsen yang banyak sementara yang kedua memiliki produsen tunggal. Banyak sedikitnya produsen ini akan mempengaruhi tingkat persaingan di pasar dan kemudian hal ini akan mempengaruhi tingkat harga. Semakin sedikit jumlah produsen dalam suatu pasar maka semakin besar kemampuan produsen (secara individual) tersebut untuk mempengaruhi tingkat harga, sebaliknya semakin banyak jumlah produsen semakin sulit produsen tersebut (secara individual) mempengaruhi tingkat harga. Dengan kata lain, dalam pasar persaingan sempurna suatu produsen akan menghadapi kurva permintaan pasar yang horisontal sedangkan dalam persaingan tidak sempurna kurva ini akan memiliki lereng yang menurun. Perhatikan gambar di bawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Sumber Ketidaksempurnaan Pasar
            Mengapa pasar menjadi tidak sempurna sehingga terjadi oligopoli atau monopoli? Kebanyakan literatur ilmu ekonomi konvensional telah mengklasifikan penyebab ketidak­sempurnaan pasar ini menjadi dua, yaitu:
·         karena pola biaya produksi, dan
·         karena adanya hambatan/retriksi dalam persaingan.
Pola biaya produksi yang dapat menyebabkan terjadinya oligopoli atau monopoli dapat berupa: (1) biaya produksi yang besar dan (2) biaya produksi yang terus menurun dengan semakin banyaknya kuantitas yang dihasilkan. Kasus yang pertama terjadi ketika suatu produksi memerlukan biaya produksi atau investasi yang sedemikian besar, sehingga sangat tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil atau yang bermodal kecil. Besarnya biaya investasi ini dapat terjadi karena besarnya biaya pengadaan input produksi, biaya proses produksi, adanya risiko usaha yang tinggi, serta tingginya tingkat output yang harus dihasilkan untuk mencapai tingkat produksi yang menguntungkan (profitable). Hal yang terakhir ini menyebabkan usaha ini tidak akan menguntungkan jika tidak diproduksi dalam jumlah yang amat besar.
Suatu perusahaan yang memiliki pola biaya produksi yang terus-menerus turun dengan semakin banyaknya kuantitas yang dihasilkan dapat menjadi monopolis. Yang di mak­sudkan dengan biaya produksi di sini meliputi biaya rata-rata (avarage cost) maupun biaya marjinal (marginal cost). Karena kedua jenis biaya ini memiliki pola yang terus menerus turun maka tambahan hasil atas skala (return to scale) terus meningkat. Dengan kata lain perusahaan ini memiliki skala ekonomi (economies scale) yang tinggi.           Perusahaan yang memiliki economies scale tinggi ini tentu saja akan dapat menawarkan harga yang semakin rendah dengan semakin meningkatnya output, sehingga secara otomatis perusahaan lain yang tidak mampu menawarkan harga yang sama atau lebih rendah akan kalah dalam bersaing. Semakin banyak perusahaan lain yang kalah bersaing berarti akan semakin luas pangsa pasar yang dikuasai perusahaan ini, akhirnya produksi perusahaan ini akan semakin banyak dan harga yang ditawarkan juga semakin rendah. Itulah sebabnya jenis monopoli ini disebut juga monopoli alamiah (natural monopoly).
Adanya hambatan dalam persaingan akan memperkecil jumlah produsen dalam pasar sehingga menciptakan oligopoli atau monopoli. Terdapat banyak jenis hambatan yang dapat menghalangi persaingan, di mana yang paling penting adalah hambatan yuridis dan diferensiasi produk. Hambatan yuridis akan muncul manakala pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum yang memberikan perlakuan istimewa kepada satu atau kelompok perusahaan di satu sisi dan menghambat perusahaan lain di saat yang bersamaan. Beberapa contoh dari hambatan yuridis ini misalnya hak patent, lisensi khusus, kontrol harga, retriksi keluar-masuk pasar, dan lain-lain. Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan yuridis ini menyebabkan terhambatnya pelaku pasar untuk bersaing secara sehat sehingga banyak produsen yang tidak bersedia memasuki pasar ini. Berikut beberapa contoh hambatan yuridis yang menyebabkan terjadinya oligopoli di Indonesia (Tabel 15.1)


Tabel 15.1
Hambatan Yuridis dalam Persaingan Pasar Domestik Indonesia
____________________________________________________________
Jenis Restriksi Sektor industri
 


Kartel   Semen, Kaca, Plywood, Kertas
Kontrol Harga Semen, Gula. Beras, Mobil
Kontrol Masuk/Keluar             Pasar Plywood dan Mobil
Lisensi Khusus            Pemasaran Cengkeh, Tepung Terigu

Perusahaan Negara Baja, Pupuk

________________________________________________________
Sumber: Iqbal, Farrukh, (1995),

            Di samping hambatan yuridis di atas, diferensiansi produk merupakan salah satu penyebab ketidaksempurnaan persaingan pasar yang lebih bersifat ekonomis. Diferensiasi produk adalah suatu karaketer yang menonjol,yang menjadi sifat pembeda yang khas dari suatu produk sedemikian rupa sehingga menimbulkan keunggulan dalam persaingan. Diferensiasi ini merupakan sebuah keunikan dari suatu produk sehingga lebih diminati oleh konsumen. Meskipun harga produk ini sama dengan produk yang dihasilkan perusahaan lain, namun adanya keunikan akan menyebabkan konsumen lebih tertarik untuk membeli produk ini. Jika diferensiasi ini sedemikian kuat maka dampaknya terhadap dominasi pangsa pasar juga akan tinggi, sebaliknya jika diferensiasi produksi ini lemah maka kemungkinan dampaknya juga akan rendah.

Keburukan Monopoli dan Kebijakannya

            Sebenarnya monopoli tidak selalu merupakan suatu keadaan pasar yang buruk bagi perekonomian, bahkan beberapa jenis usaha memang lebih baik jika diupayakan secara monopolis seperti dalam natural monopoly. Adanya natural monopoly sebenarnya justru menguntungkan konsumen, sebab konsumen akan mendapatkan barang dengan harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan dalam pasar bersaing. Tetapi, salah satu keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan harga pada tingkat yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan labanya, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan konsumen. Inilah yang disebut monopolistic rent. Strategi untuk memaksimum­kan laba ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu (1) penetapan harga dan (2) pengen­dalian kuantitas barang yang dihasilkannya/dijualnya.

Gambar 15.7
Monopolistic Rent dalam Ikhtikar
 












Penetapan harga secara sepihak oleh produsen monopolis sangat dimungkinkan, sebab ia satu-satunya produsen. Konsumen akan terpaksa atau dipaksa untuk menyetujui harga yang ditetapkan oleh produsen, sebab mereka tidak memiliki alternatif pilihan lainnya. Efektifitas penetapan harga untuk memaksimumkan laba produsen monopolis tergantung pada sejauhmana tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang yang dihasilkan produsen tersebut. Semakin tinggi tingkat kebutuhan konsumen - misalnya untuk barang primer - maka semakin tidak berdaya konsumen untuk menolak harga yang ditetapkan oleh produsen, demikian pula sebaliknya.
            Produsen juga dapat mempengaruhi harga dengan cara mengendalikan kuantitas barang yang dihasilkannya/dijualnya. Karena produsen monopolis menghadapi kurva permin­­taan yang berlereng ke bawah, maka perubahan kuantitas barang yang ditawarkan akan mempengaruhi tingkat harga keseimbangannya. Semakin sedikit barang yang ditawarkan maka semakin naik tingkat harganya, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu untuk menaikkan harga produsen monopolis kemungkinan akan menciptakan kelangkaan sehingga kuantitas barang yang ditawarkan akan berkurang. Teknis menciptakan kelangkaan ini dapat dilakukan dengan mengurangi kuantitas produksi atau menimbun output produksinya pada satu waktu dan mengeluarkannya kembali pada waktu yang lain.
            Meskipun ajaran Islam menghendaki sebuah struktur pasar yang bersaing sempurna, tetapi Islam tidak melarang adanya oligopoli ataupun monopoli. Pandangan Islam terfokus kepada masalah mekanisme penentuan harga di dalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi konsumen, sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Dalam pandangan Islam harga harus mencerminkan keadilan (thaman al mitl/price equivalence), baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi pasar yang bersaing sempurna harga yang adil ini dapat dicapai dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada intervensi harga dari pemerintah. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab ia akan mencari monopolistic rent. Itulah sebabnya ajaran islam melarang keras ikhtikar, karena ia bertujuan untuk mencari monopolistic rent ini. Untuk itu pemerintah perlu, bahkan wajib, melakukan intervensi sehingga harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dengan ungkapan sederhana, ajaran Islam tidak mempermasalahkan apakah suatu perusahaan merupakan oligopolis atau monopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan di atas normal.
Bentuk intervensi pemerintah ini antara lain adalah kebijakan penetapan harga (price intervention) dan pelarangan terhadap penimbunan (sehingga terjadi kelangkaan) untuk menaikkan tingkat harga (ikhtikar). Konsep Islam tentang intervensi harga berpatokan pada konsep harga yang adil (lihat kembali pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah). Jadi pemerintah harus menetapkan harga pada titik yang memberikan keadilan bagi produsen dan konsumen.





RANGKUMAN

  • Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (justice), termasuk juga dalam penentuan harga. Beberapa terminologi yang maknanya menuju kepada harga yang adil, antara lain: si’r al mithl, thaman al mithl dan qimah al adl. Harga yang adil adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungan pihak yang lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualannya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang wajar dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.
·         Kebijakan pemerintah dalam regulasi harga ini harus menunjukkan tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktifitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi, (2) fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin, dan (3) fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi. Pemilihan model kebijakan regulasi harga ditentukan oleh dua hal, yaitu: (1) jenis penyebab perubahan harga tersebut, dan (2) urgensi harga terhadap kebutuhan masyarakat, yaitu keadaan darurat. Jika penyebab perubahan harga adalah genuine factors maka kebijakan yang ditempuh untuk stabilisasi harga adalah dengan mempengaruhi posisi permintaan dan atau penawaran, sedangkan jika non genuine factor maka kebijakan yang ditempuh adalah dengan menghilangkan penyebab distorsi tersebut sehingga mekanisme pasar dapat bekerja kembali, termasuk dengan penetapan harga.
  • Prinsip dasar kebijakan penetapan harga adalah menuju pada harga yang adil. Hal ini dapat dilakukan dengan berpatokan pada harga pada situasi pasar yang normal atau harga yang setara. Penetapan harga pada situasi yang tidak tepat justru akan menimbulkan banyak permasalahan ekonomi yang serius, misalnya inefisiensi dan munculnya black market
  • Meskipun ajaran Islam menghendaki sebuah struktur pasar yang bersaing sempurna, tetapi Islam tidak melarang adanya oligopoli ataupun monopoli. Pandangan Islam terfokus kepada masalah mekanisme penentuan harga di dalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi konsumen, sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Dengan ungkapan sederhana, ajaran Islam tidak melarang oligopolis atau monopolis, tetapi melarang pengambilan monopolistic rent






KONSEP PENTING
 


si’r al mithl, thaman al mithl                               Genuine factors, non genuine factors
qimah al adl                                                        Intervensi harga Ibnu Qudamah
‘iwad al mithl                                                      Intervensi harga Ibnu Taimiyah
Regulasi harga                                                     Monopoli
Intervensi harga                                                   Ikhtikar, monopolistic rent













[1] Menurut O’Brien (1920, h. 18), “kajian Aquinas tentang masalah ekonomi terus menerus menjadi dasar pijakan bagi seluruh penulis sampai akhir abad ke 15. Pendapatnya tentang berbgai point, memperkeras dan menjelaskan terhadap para penulis kemudian untuk mengembangkan lebih detail ketimbang hasil kerjanya…”
[2] Salin dalam tulisannya pada Encyclopedia of Social Science memberikan komentar yang berbeda tentang pemikiran Thomas Aquinas ini, yaitu: “… tidaklah benar untuk mengatakan bahwa harga yang adil yang diformulasikan oleh Aquinas dan kemudian diikuti oleh para sarjana sama sekali tidak memiliki kandungan ekonomis” (Islahi, 1996).
[3] Beberapa kaidah hukum Islam yang relevan dengan situasi darurat antara lain :
·       Ad dharurahtu tuhbihul mahdurat, yaitu dalam situasi darurat status suatu hukum dapat berubah. Ajaran Islam yang menjunjung tinggi mekanisme pasar dapat ditiadakan sementara, kemudian diterapkan intervensi harga.
·       Al dharurahtu qaddaru bi qadriha, yaitu langkah yang diambil ditentukan oleh tingkat/derajat kedaruratannya.
[4] Terdapat 2 alasan untuk hal ini: (1) Karena pihak yang menderita kerugian paling parah akibat kenaikan harga biasanya adalah masyarakat golongan miskin, maka golongan kaya wajib membantu masalah ini. Bantuan golongan kaya ini termasuk dalam pengeluaran fii sabilillah, (2) Pemerintah berkewajiban memelihara kesejahteraan masyarakatnya, terutama golongan miskin.
[5] Dengan kata lain, ikhtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual barang lebih sedikit (yang lainnya ditahannya) untuk harga yang lebih tinggi. Bersumber dari Said bin al Musyyab dan Ma’mar bin Abdullah al Adawi bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu melainkan berdosa” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)
[6] Pada masa awal kerasulan Muhammad s.a.w , umat Islam pernah mengalami distorsi harga ini. Pada masa itu umat Islam diblokade oleh orang-orang Quraisy (sebagai strategi menghambat dakwah Muhammad s.a.w) dengan cara dikucilkan dari transaksi-transaksi ekonomi. Siapa saja tidak boleh bertransaksi dengan umat Islam, sehigga betul-betul membuat umat Islam menderita. Umat Islam hanya dapat bertransaksi dalam jumlah sedikit di bulan-bulan suci, ketika perdamaian berlaku di seluruh jazirah Arab. Namun, kaum Quraisy memasang harga sangat tinggi di atas harga pasar. Abu Lahab (seorang tokoh Quraisy) menyerukan, “Naikkan harga agar Muhammad dan pengikutnya tidak dapat membeli !” Sedangkan untuk mempertahankan harga tinggi itu mereka sendiri membeli dengan harga yang lebih tinggi pula.
[7] Persaingan yang tidak sehat ini harus dihilangkan sebab telah mendistorsi harga pasar, termasuk dengan intervensi harga sebagaimana pernah dilakukan oleh khalifah Umar Bin Khatab. Ketika mendatangi pasar beliau menjumpai Habib bin Abi Balta yang menjual anggurnya di bawah harga pasar. Umar langsung menegurnya, “ Naikkan hargamu atau tinggalkan pasar kami !” (Hasan, 1986).
[8] Dalam situasi pasar yang benar-benar kompetitif situasi ini sebenarnya sulit terjadi. Penjual dan pembeli akan dipaksa merubah keinginannya tentang harga, daripada masing-masing tidak dapat memenuhi keinginannya (yaitu penjual memperoleh keuntungan dan pembeli memperoleh manfaat).
[9] Al Zaylani (1896) menggambarkan kenaikan harga yang tidak wajar ini misalnya setinggi 2 kali lipat dari harga pasar yang normal
[10] Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang penjual tidak boleh menjual barangnya dengan harga yang berlebihan kepada pembeli yang tidak mengetahui harga pasar, tetapi ia harus menjualnya pada harga yang lazim berlaku ( the customary price)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar