BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Bisnis Islam
Etika didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang
membedakan yang baik dan yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat
normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan oleh seorang individu. Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk
itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia.
Bisnis adalah suatu
organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya,
untuk mendapatkan keuntungan. kata bisnis dari bahasa Inggris business, yaitu
kata dasar bussy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu maupun komunitas,
ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan
yang mendatangkan keuntungan yang bayak.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa etika bisnis Islam merupakan cara-cara untuk melakukan kegiatan
bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu,
perusahaan, industri dan juga masyarakat menurut syariat Islam. Kesemuanya ini
mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum
yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan
di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum,
bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal
ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan
wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum. Etika bisnis dalam
perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu
perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai
kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi.
B. Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam
1. Tauhid
Tauhid merupakan dimensi vertikal Islam yang dipahami sebagai
sebuah ungkapan keyakinan (syahadat) seorang Muslim atas keesaan Tuhan. Tauhid
dikonstruksi dari kata wahada yang secara etimologi yang berati satu (esa) yaitu
dasar kepercayaan yang menjiwai manusia atas segala aktivitasnya. Konsep tauhid
menggabungkan ke dalam sifat homogen semua aspek yang berbeda-beda dalam
kehidupan seorang Muslim yakni aspek ekonomi, politik, agama, dan masyarakat,
serta menekankan gagasan mengenai konsistensi dan keteraturan.
Tauhid merupakan konsep serba eksklusif dan serba inklusif. Pada
tingkat absolut ia membedakan Khalik dengan makhluk, memerlukan penyerahan
tanpa syarat kepada kehendak-Nya, tetapi pada eksistensi manusia memberikan
suatu prinsip perpaduan yang kuat sebab seluruh umat manusia dipersatukan dalam
ketaatan kepada Allah semata. Oleh
sebab itu, segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia
hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan
yang telah diberikan.
Secara kontekstual, tauhid dipersepsi oleh individu dalam
pengertian iman, akidah dan tanggung jawb terhadap amanah. Ketiga makna
tersebut, dalam konteks ekonomi memberikan suatu kesadaran pembebasan terhadap
para pelaku ekonomi dari ketundukan dan kecendrungan yang berlebihan terhadap
materi, dan membentuk pemikiran yang bertanggung jawab dalam mengelola
aset-aset ekonomi sesuai dengan aturan-aturan (syari’at) Tuhan.
Pemahaman yang baik dan benar terhadap tauhid berimplikasi
terhadap cara pandang manajemen/pengolaan harta benda dalam kerangka amanah
dari Allah. Pendapatan dan penggunaan harta tidak hanya berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan pragmatis yang bersifat temporal, tetapi juga berimplikasi
transendental, pertanggungjawaban kembali kepada Tuhan. Bukan hanya itu,
pemahaman tauhid juga menimbulkan kesadaran pentingnya kerja sama dalam
pengelolaan harta sebagai amanah dalam kerangka ekonomi untuk menciptakan kerja
produktif, meningkatkan kesejahteraan manusia dan mencegah penindasan ekonomi
dan distribusi kekayaan pada segelintir orang.
Jadi dapat
dipahami dari uraian di atas bahwa kita sebagai manusia ciptaan Tuhan, harus
benar-benar sepenuhnya percaya kepada Sang Maha Pencipta serta meyakini bahwa
Tuhan itu ada, dan Dia lah yang mengatur segala hal dalam Kehidupan kita di
dunia ini. Kemana pun kita pergi, apapun yang kita pikirkan atau kerjakan tidak
terlepas dari Nya, sehingga bisa dikatakan bahwa hidup dan mati kita ada
ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu juga dalam pelaku ekonomi atau bisnis,
semuanya harus selalu memperhatikan etika yang baik dan dari sudut apapun.
Konsep tauhid memiliki pengaruh yang paling mendalam terhadap
diri seorang Muslim dikarenakan sebagai berikut:
1. Seorang Muslim memandang apapun yang ada di dunia sebagai milik
Allah SWT, pemikiran dan perilakunya tidak dapat dibiaskan oleh apapun juga.
Pandangannya menjadi lebih luas dan pengabdiannya tidak lagi terbatas kepada
kelompok atau lingkungan tertentu. Segala bentuk pandangan rasisme ataupun
sistem kasta menjadi tidak sejalan dengan pemikirannya.
2. Hanya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Esa, maka kaum Muslim tidak
akan takut pada semua kekuasaan lain kecuali Allah SWT. Ia tidak pernah
disilaukan oleh kebesaran orang lain, dan tidak membiarkan dirinya dipaksa
untuk bertindak tidak etis oleh siapa pun. Karena Allah SWT dapat mengambil
dengan mudah apapun yang telah ia berikan, maka kaum Muslim akan bersikap
rendah hati dan hidup sederhana.
3. Percaya bahwa hanya Allah SWT yang dapat menolongnya, ia tidak
pernah merasa putus asa akan datanganya pertolongan dan kemurahan Allah SWT
sehingga ia akan bertindak penuh keyakinan dan keberanian untuk apa yang ia
anggap etis dan Islami.
4. Pengaruh paling besar dari ucapan la ilaha illa Allah adalah kaum Muslim akan mentaati
dan melaksanakan hukum-hukum Allah SWT. Ia mempercayai bahwa Allah mengetahui
segalanya yang terlihat ataupun yang tersembunyi, dan bahwa ia tidak dapat
menyembunyikan apapun, niat ataupun tindakan dari Allah SWT. Sebagai
konsekuensinya, ia akan menghindarkan diri dari apa yang dilarang, dan berbuat
hanya dalam kebaikan.
Penerapan Konsep Tauhid dalam Etika
Bisnis
Seseorang yang menerapkan kaidah Tauhid di dalam dirinya maka
apabila menjadi seorang pengusaha Muslim tidak akan:
· Berbuat diskriminasi terhadap pekerja, pemasok, pembeli atau
siapapun pemegang saham perusahaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin,
ataupun agama. Hal ini sesuai dengan tujuan Allah SWT untuk menciptakan
manusia:
“Hai manusia! Sesungguhnya telah Kami
ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal satu sama lain”.
· Dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis, karena ia hanya takut
dan cinta kepada Allah SWT. Ia selalu mengikuti aturan perilaku yang sama dan
satu, dimanapun apakah itu di masjid, di dunia kerja atau aspek apapun dalam
kehidupannya, ia akan selalu merasa bahagia.
· Menimbun kekayaannya dengan penuh keserakahan. Konsep amanah dan
kepercayaan memiliki makna yang sangat penting baginya karena ia sadar bahwa
semua harta dunia bersifat sementara, dan harus dipergunakan secara bijaksana.
Tindakan seorang Muslim tidak semata-mata dituntun oleh keuntungan, dan tidak
demi mencari kekayaan dengan cara apapun. Ia menyadari bahwa:
“Harta dan anak adalah perhiasan
kehidupan di dunia, namun amalan-amalan yang kekal dan saleh adalah lebih baik
pahalanya di mata Allah SWT, dan lebih baik sebagai landasan harapan-harapan”.
2. Keseimbangan
Keseimbangan
atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan
adanya keadilan sosial. Keseimbangan
atau ‘adl menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam, dan berhubungan dengan
harmoni segala sesuatu yang ada di alam semesta. Hukum dan ketentuan yang kita
lihat di alam semesta merefleksikan konsep keseimbangan yang rumit ini.
Sebagaimana difirmankan Allah SWT,
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran”.
Konsep keseimbangan ini lebih dari sekedar karakteristik alam,
ia merupakan karakteristik dinamik yang harus diperjuangkan oleh setiap Muslim
dalam kehidupannya. Kebutuhan akan keseimbangan dah kesetaraan ditekankan Allah
SWT ketika ia menyebut kaum Muslim sebagai ummatun wasatun.
Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderatan merupakan prinsip etis
mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis yakni
untuk menjaga keseimbangan antara mereka yang berpunya dan mereka yang tak berpunya,
Allah SWT menekankan arti penting sikap saling memberi dan mengutuk tindakan
mengkonsumsi yang berlebih-lebihan.
Keseimbangan atau keadilan adalah mengunakan dan menempatkan
harta yang dimiliki individu sebagai amanah dari Allah pada tempatnya yang
wajib dikelola dengan cara-cara yang baik untuk kemaslahatan diri, seperti
dalam bentuk infak, shadaqah, zakat dan sumbangan sosial lainnya serta untuk
mendekatkan diri pada Allah.
Dalam perspektif sistem ekonomi Islam, kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh individu atau lembaga hanya dapat bernilai guna jika di arahkan
untuk kemaslahatan manusia dan didedikasikan untuk memuaskan kebutuhan spritual
(taqwa) pada Allah. Keadilan dalam Islam merupakan mata rantai dan turunan dari
nilai tauhid. Tauhid dan keadilan, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat.
Masing-masing dari nilai tersebut menjadi nilai yang mendasari teori dan
praktik ekonomi dalam berbisnis. Keadilan berarti seseorang memperoleh
bagiannya sesuai dengan kemampuannya. Adil bukan berati seseorang memperoleh
sesuatu persis dengan yang diperoleh orang lain baik ukurannya, takarannya,
jenis barangnya maupun jumlahnya, melainkan seseorang mempunyai kesempatan yang
sma untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
Artinya pada pemerolehan kesempatan yang sama bagi tiap individu
untuk hak-hak secara layak, sehingga setiap orang berada pada posisi yang sama
dan setara satu dengan yang lainnya. Yang dimaksud hak disini adalah hak-hak
sosial ekonomi, hak yang perlu dimiliki dan dinikmati oleh setiap individu.
Namun standar keadilan yang digunakan dalam perkembangan ekonomi global syarat
dengan bias-bias subyektif dan kepentingan suatu negara sehingga tidak
representatif untuk memayungi hak semua orang melainkan memberikan peluang
kepada segelintir orang yang memiliki kecerdasan rasional dan kemampuan
finansial untuk mengeksploitasi yang lain.
Penerapan Konsep Keseimbangan dalam
Etika Bisnis
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi
syarat-syarat berikut:
(1) Produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti pada
titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan
bisnis dalam genggaman segelintir orang.
(2) Setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama
dipandang dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus
memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal
dan individual dalam masyarakat.
(3) Tidak mengakui hak milik yang tak terbatas dan pasar
bebas yang tak terkendali.
Prinsip keseimbangan atau kesetaraan berlaku baik secara harfiah
maupun kias dalam dunia bisnis karena sebuah transaksi yang seimbang adalah
juga setara dan adil. Secara keseluruhan, Islam sebenarnya tidak ingin
menciptakan sebuah masyarakat pedagang-syahid, yang berbisnis semata demi
alasan kedermawanan. Akan tetapi, Islam ingin mengekang kecenderungan sikap
serakah manusia dan kecintaannya untuk memiliki barang-barang. Sebagai
akibatnya, baik sikap kikir maupun boros keduanya dikutuk dalam Qur’an maupun
Hadist.
3. Kehendak Bebas
Kehendak bebas (Free
Will) yakni manusia mempunyai
suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan
manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada
manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai
khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Pada tingkat tertentu, manusia diberikan kehendak bebas untuk
mengendalikan kehidupannya sendiri manakala Allah SWT menurunkannya di bumi.
Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa ia sepenuhnya dituntun oleh hukum yang
diciptakan Allah SWT, ia diberikan kemampuan untuk berpikir dan membuat
keputusan, untuk memilih apapun jalan hidup yang ia inginkan dan yang paling
penting untuk bertindak berdasarkan aturan apa pun yang ia pilih. Tidak seperti
halnya ciptaan Allah SWT yang lain di alam semesta, ia dapat memilih perilaku
etis atau tidak etis yang akan ia jalankan.
Sekali ia memilih untuk menjadi seorang Muslim, ia harus tunduk
kepada Allah SWT. Ia menjadi bagian umat secara keseluruhan dan menyadari
kedudukannya sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Ia setuju untuk berperilaku
berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT demi kehidupan
pribadi maupun sosialnya. Konsep kehendak bebas berkedudukan sejajar dengan
konsep kesatuan dan keseimbangan.
Dalam kerangka
etika, kebebasan adalah syarat khusus yang harus ada agar manusia bisa
bertindak scara etis. Hanya karena ia mempunyai kebebasan, maka ia bisa dituntut
untuk bertindak secara etis. Dalam kerangka bisnis, kegiatan bisnis hanya
mungkin dilaksanakan kalau ada kebebasan. Seorang pengusaha atau menejer bisa
mengembangkan kegiatan bisnisnya, hanya kalau ada kebebasan untuk itu.
Penerapan Konsep Kehendak Bebas dalam
Etika Bisnis
Berdasarkan konsep kehendak bebas, manusia memiliki kebebasan
untuk membuat untuk membuat kontrak dan menepatinya ataupun mengingkarinya.
Seorang Muslim, yang telah menyerahkan hidupnya pada kehendak Allah SWT, akan
menepati semua kontrak yang telah dibuatnya.
“Hai orang-orang yang
beriman! Penuhilah semua perjanjian itu”?
Penting untuk dicatat bahwa Allah SWT memerintahkan ayat diatas
secara eksplisit kepada kaum Muslim. Sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf ‘Ali,
kata ‘uqud yang mengandung arti sebgai berikut:
a) Kewajiban suci yang muncul dari kodrat spiritual dan hubungan kita
dengan Allah SWT
b) Kewajiban sosial kita seperti misalnya dalam perjanjian
perkawinan
c) Kewajiban politik kita seperti misalnya perjanjian hukum
d) Kewajiban bisnis kita seperti misalnya kontrak formal mengenai
tugas-tugas tertentu yang harus dilakukan ataupun kontrak tak tertulis menenai
perlakuan layak yang harus diberikan kepada para pekerja.
Kaum Muslim harus mengekang kehendak bebasnya untuk bertindak
berdasarkan aturan-aturan moral seperti yang telah digariskan Allah SWT. Dari
sudut pandang ekonomi, Islam menolak prinsip laissez-faire dan keyakinan Barat
terhadap konsep “Tangan yang Tak Terlihat”. Karena aspek kunci dalam diri
manusia adalah nafs ammarah, maka ia akan cenderung menyalahgunakan sistem
seperti ini. Prinsip homo Islamicus yang dituntun oleh hukum Allah SWT harus
dipilih agar dapat bertindak secara etis.
4. Tanggung Jawab
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab
manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung
jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia
tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas
sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab
kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non
formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Kebebasan yang tak terbatas adalah sebuah absurditas yang
mengaplikasikan tidak adanya sikap tanggung jawab atau akuntabilitas. Untuk
memenuhi konsep keadilan dan kesatuan seperti yang kita lihat dalam ciptaan
Allah SWT, manusia harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Islam
adalah agama yang adil, apabila seseorang tidak bertanggung jawab terhadap
tindakannya jika (a) ia belum mencapai usia dewasa, (b) ia sakit jiwa, (c) ia
berbuat sesuatu ketika sedang tidur.
Dalam konsep tanggung jawab, Islam membedakan antara fard al’ayn
(tanggung jawab individu yang tidak dapat dialihkan dan fard al kifayah
(tanggung jawab kolektif yang bisa diwakili oleh sebagia kecil orang). Sebagai
contoh, fard al kifayah menggariskan bahwa jika seseorang yang mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya secara cukup dan ingin belajar tentang ilmu agama namun
merasa bahwa pekerjaannya tidak akan memungkinkan untuk melakukan hal tersebut,
maka ia dapat diberi zakat karena mencari ilmu dianggap sebagai kewajiban
kolektif.
Sementara bagi seseorang yang
melakukan ibadah yang berlebihan (nawafil) atau seseorang yang ingin melakukan
nawafil tanpa ada waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia mungkin
justru tidak mendapat zakat. Hal ini karena pahala ibadahnya hanya untuk
dirinya sendiri, berbeda dengan orang yang sedang mencari ilmu. Sementara itu,
fard al’ayn berarti perintah atau peraturan yang bersifat tanpa syarat, secara
umum diterapkan kepada setiap orang. Dengan demikian, berpuasa atau
melaksanakan shalat adalah fard al’ayn, dan seorang Muslim tidak dapat
mengalihkan tanggung jawab pribadinya terhadap kewajiban melakukan shalat.
Seorang
pengusaha dan manajer yang tulen adalah yang mampu mengambil inisiatif,
terobosan, inovasi dan resiko dalam melakukan bisnis. Tapi dipihak lain, ia
tetap dituntut untuk bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya itu,
yaitu:
1) Kepada dirinya sendiri, atau dalam bahasa etika; kepada
nuraninya yang mungkin saat menuntut pertanggung jawaban atas segala yang telah
dilakukannya.
2) Kepada orang-orang yang mempercayakan seluruh kegiatan bisnis
dan manejemen itu kepadanya. Kepada mereka inilah si pengusaha atau menejer
memepertanggung jawabkan segala keputusan dan tindakanya secar jujur.
Kepercayaan kepadanya akan diuji dan diukur berdasarkan kadar tanggung jawab
yang diperlihatkannya.
3) Kepada pihak-pihak yang terlibat dengannya dalam urusan bisnis.
Disini tanggung jawab telah menemukan bentuknya yang semakin konkret berupa
kesediaan mengganti barang dan jasa yang memenuhi persayaratan, kontrak atau
harapan mereka. Bertanggung jawab disini berarti bersedia memperbaiki mutu
barang dan jasa, bahkan pada saat itu juga.
4) Kepada pihak ketiga, yaitu masyarakat seluruhnya yang secara
tidak langsung terkena akibat dari keputusan dan tindakan bisnisnya. Wujud dari
sikap ini adlah menawarkan barang dan jasa yang bermutu, menjaga lingkungan
hidup yangbersih dan sehat terbebas dari polusi bahkan bersedia memperbaikinya
kalau ternyata mereka ikkut merusaknya dan bertanggung jawab atas kelangsungan
hidup masyarakat seluruhnya.
Penerapan Konsep Tanggung Jawab dalam
Etika Bisnis
Jika seseorang pengusaha Muslim berperilaku secara tidak etis,
ia tidak dapat menyalahkan tindakannya pada persoalan tekanan bisnis ataupun
pada kenyataan bahwa setiap orang juga berperilaku tidak etis. Ia harus memikul
tanggung jawab tertinggi atas tindakannya sendiri. Berkaitan dengan hal ini,
Allah SWT berfirman:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas
apa yang telah diperbuatnya”.
Karenanya, konsep ini bertalian erat dengan konsep kesatuan,
keseimbangan dan kehendak bebas. Semua kewajiban harus dihargai kecuali jika
moral salah. Sebagai contoh, Ibrahim as menolak kewajiban keluarganya ketika
ayahnya menginginkannya untuk membuat shirk atau menuja berhala. Disisi lain, Rasulullah
Saw melaksanakan kesepakatan dalam perjanjian Hudaybiyah meskipun hal itu
berarti bahwa Abu Jandal, seorang yang baru menjadi Muslim, harus dikembalikan
kepada suku Quraish. Sekali seorang Muslim mengucapkan janjinya atau terlibat
dalam sebuah perjanjian yang sah, maka ia harus menepatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar